TUNTUNAN HAID, NIFAS DAN ISTIHADHOH

Loading

TUNTUNAN HAID, NIFAS DAN ISTIHADHOH

Oleh Abu Rufaydah

A. HAID

Definisi;

  1. Haid secara Bahasa artinya mengalir. (al-Mu’tamad, I/115).

Secara istilah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada waktu tertentu yang berwarna hitam, kental dan berbau tidak sedap. (fiqh lin Nisa).

  1. Istihadoh adalah darah yang keluar di luar waktu haid dan nifas . (Kifayatul Akhyar, I/94) atau keluar langsung setelah masa haid dan nifas. Berwarna merah, encer, tidak berbau busuk, membeku.
  2. Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. (Kifayatul Akhyar, I/94).

 

Usia Wanita Haid

Penulis kitab Kifayatul Akhyar berkata;

وأقل زمان تحيض فيه الجارية تسع سنين ولا حد لأكثره

Dan minimal usia wanita haid yaitu Sembilan tahun dan tidak ada Batasan maksimal. (Kifayatul Akhyar, I/96).

Aisyah Radhiallahu Anha berkata;

بحديث عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم بنى بها وهي بنت تسع سنين وقد قالت عائشة إذا بلغت الجارية تسع سنين فهي امرأة

‘Aaisyah berkata : ‘Apabila telah mencapai usia sembilan tahun, maka ia seorang wanita dewasa/baligh” [Sunan At-Tirmidziy, 2/402].

Taqiyuddin Abu Bakr al-Hushni asy-Syafi’I rahimahullah ta’ala berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal usia wanita yang haid harus sembilan tahun, kapan saja ia melihat darah haid itu keluar maka ia telah haid (baligh).

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan,

ولا حد لسن تحيض فيه المرأة ، بل لو قدر أنها بعد ستين أو سبعين رأت الدم المعروف من الرحم لكان حيضا

Tidak ada batasan usia untuk masa haid wanita. Sehingga andai ada wanita dengan usia di atas 60 atau 70 tahun mengeluarkan darah dengan ciri yang umumnya dari rahim, maka terhitung haid. (Majmu’ Fatawa, 19/240)

Waktu Haid;

Penulis kitab Ghayah wa Taqrib (Matan Abi Syuja’) berkata,

وأقل الحيض : يوم وليلة وأثره : خمسة عشر يوما وغالبه : ست أو سبع

Batas minimal haid adalah sehari semalam, sedangkan batas maksimalnya adalah 15 hari, dan umumnya haid terjadi selama 6 atau 7 hari. (Matan Ghayah wa Taqrib, Abi Syuja’, hlm. 51)

Dr. Muhammad az-Zuhaily berkata dalam kitabnya al-Mu’tamad jika kurang dari sehari semalam maka itu darah penyakit, maka berwudhu dan shalat, dan mengerjakan shalat yang tertinggal, jika puasa maka puasanya sah. (al-Mu’tamad, I/121).

Adapun batas maksimal haid 15 hari, sebagaimana yang dikatakan oleh Atho’; Aku melihat para wanita haid sehari dan ada yang lima belas hari, dan berkata Abdullah bin Zubairi rahimahullah berkata wanita-wanita kami haid sehari semalam dan lima belas hari. (Mughni al_muhtaj, I/109).

Permulaan dan Akhir Masa Haid

  1. Permulaan haid diketahui dengan keluarnya darah pada masa kemungkinan terjadinya haid. Dengan mengetahui ciri-cirinya.
  2. Akhir masa haid diketahui dengan;
  • Keluarnya cairan putih dari rahim, yaitu sebagai tanda suci.
  • Kering sempurna, jika tidak ada cairan putih. Ketika itu dia dapat mengetahui bahwa dirinya telah suci. Misalnya jiak dia tempelkan kapas putih ke tempat keluarnya darah dan ternyata kapas tersebut masih bersih, maka ketika itu dia telah suci, dan hendaknya dia mandi, lalu shalat. Namun jika kapas itu masih merah, kuning atau coklat, maka jangan shalat (masih haid).

Pada masa lalu, kaum wanita mengirim wadah yang di dalamnya terdapat kapas, padanya terdapat warna kekuningan, maka beliau berkata, “Jangan tergesa-gesa (untuk menganggap telah suci), sebelum kalian mendapatkan cairan putih.” (HR. Bukhari)

Adapun jika cairan kekuningan dan keruh tersebut keluar pada masa-masa suci seorang wanita, maka dia dalam kondisi masa suci, seorang wanita tidak boleh meninggalkan shalatnya dan tidak harus mandi, karena hal tersebut tidak mewajibkan mandi dan tidak dianggap junub.

Berdasarkan hadits Ummu Athiyah radhiallahu anha, dia berkata,

كنا لا نعد الصفرة والكدرة بعد الطهر

“Kami dahulu tidak menganggap apa-apa (bukan haid) cairan kekungingan dan keruh yang keluar setelah masa suci.” (HR. Abu Daud, 307.  Bukhari, no. 320, meriwayatkan juga tanpa menyebutkan ‘setelah masa suci’)

Adapun jika hal tersebut bersambung dengan masa haid, maka dia dianggap haid.

Catatan penting;

  1. Jika wanita telah bersih dari haid, tapi tidak mendapati air makai a boleh bertayammum, boleh melakukan jima. (Syarah Muslim, I/593)
  2. Jika darah yang keluar melebihi batas waktu kebiasaannya, ia berada pada dua kondisi;
  • Apabila mampu membedakan antara darah haid dengan darah lainnya. Maka jika darahnya berwarna hitam, kental dan berbau tidak sedap berarti ia masih dalam masa haid, maka tidak boleh shalat, jima dan hukum haid lainnya. Namun jika berbeda dengan darah haid maka ia segera mandi, dan boleh melakukan shalat, jima dan yang lainnya.
  1. Apa yang harus dilakukan oleh seorang wanita jika darah haid keluar selama dua hari, lalu berhenti di hari ke tiga, tetapi keluar lagi pada hari ke empat, dan seterusnya ? Menurut pendapat yang benar, berhrntinya darah salama masa haid yang biasa dialamo tetap dianggap darah haid, sehingga berhentinya darah haid tersebut tidak berpengaruh apa-apa, selam tidak terlihat tanda-tanda suci. (Fatawa Mar’ah, 26).
  2. Apakah wanita hamil bisa mengalami haid ?
  • Kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita hamil tidak haid.
  • Imam asy-Syafi’I rahimahullah berpendapat bahwa wanita hamil bisa haid. Sebagaimana Dr. Muhammad Az-Zuhaily berpendapat bahwa wanita menyusui bisa hamil demikian pula wanita haid, karena hukum asalanya keduanya tidak haid, namun jika keduanya melihat darah haid makai a dalam kondisi haid. (al-Mu’tamad, I/122).

 

Larangan Bagi wanita Haid.

  1. Shalat

Dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا

Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)

Dari Mu’adzah, ia berkata bahwa ada seorang wanita yang berkata kepada ‘Aisyah,

أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ . أَوْ قَالَتْ فَلاَ نَفْعَلُهُ

Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqodho’nya. Atau ‘Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqodho’nya.” (HR. Bukhari no. 321).

Catatan penting;

  • Jika wanita mulai haid menjelang ashar, padahal ia belum shalat dzuhur, maka ia harus mengqhodo shalat zuhur yang wajib ia kerjakan semasa belum haid.
  • Apabila wanita haid suci menjelang shalat asar dan ketika mandi telah masuk waktu shalat asar, maka ia harus mengerjakan shalat zuhur dan asar pada hari itu. Begitupun jika ia suci sebelum fajar terbit, maka harus mengerjakan shakat maghrib dan isya dapa malam itu, karena waktu shakat yang kedua dan shalat pertama masuk dalam kondosi uzur. Demikian perdapat dari Imam asy-Syafii, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal. (Majmu’ Fatawa, II/334 secara singkat).
  1. Puasa

Dalam hadits Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim no. 335) Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21)

Catatan penting;

  • Jika seorang wanita yang haid seci sebelum fajar dan belum mandi dan ia berniat puasa maka puasanya sah. Ini merupakan pendapat jumhur Ulama. (Fathul Baari, I/192).
  • Apabila wanita haid suci sebelum waktu terbenam, maka tidak perlu baginya berpuasa di sisa waktu yang ada, karena sejak awal ia tidak berniat puasa.
  1. Jima’ (hubungan suami istri)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’, 2: 359).

Allah Ta’ala berfirman,

فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ

Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari (hubungan intim dengan) wanita di waktu haid.” (QS. Al Baqarah: 222). Imam Nawawi berkata, “Mahidh dalam ayat bisa bermakna darah haid, ada pula yang mengatakan waktu haid dan juga ada yang berkata tempat keluarnya haid yaitu kemaluan. … Dan menurut ulama Syafi’iyah, maksud mahidhadalah darah haid.” (Al Majmu’, 2: 343)

Dalam hadits disebutkan,

مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-

Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”

Hubungan seks yang dibolehkan dengan wanita haid adalah bercumbu selama tidak melakukan jima’ (senggama) di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,

اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)

Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ

Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?”   (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haid di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haid atau selain kemaluannya.

  1. Ijma’ ulama mengatakan bahwa wanita haid haram melakukan thowaf. Dalilnya ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى

Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”  (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)

  1. Menyentuh al-Qur’an

Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)

Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,

لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ

Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak menyentuhnya.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)

Hal-Hal yang Masih Dibolehkan bagi Wanita Haid dan Nifas

  1. Membaca Al Qur’an tanpa menyentuhnya. Ini pendapat yang terkenal dari Imam asy-Syafi’I. pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Ummu Athiyyah yang mengatakan, “Kami diperintahkan agar keluar rumah pada hari raya, sehingga kami membawa anak-anak gadis bahkan wanita-wanita yang haid dan menematkan mereka di belakang kaum muslimin mereka ikut mengucapkan takbir dan berdoa seperti kaum muslimin serta mengharap berkah dan kesucian hari raya tersebut. (HR. al-Bukhari dan  Muslim.
  2. Berdzikir.
  3. Sujud Tilawah
  4. Menghadiri shalat ‘ied.
  5. Masuk masjid karena tidak ada dalil tegas yang melarangnya.
  6. Menuapi dan memberikan minum kepada suami.
  7. Melayani suami selama tidak melakukan jima’ (hubungan intim di kemaluan).
  8. Tidur bersama suami.

 

B. NIFAS

  1. Definisi

Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. (Kifayatul Akhyar, I/94).

  1. Waktu Nifas. Muhammad az-Zuhaily mengatakan bahwa waktu paling sedikit nifas yatu satu tetes dan terkadang ada wanita yang melahirkan yang ada darah nifasnya. Paling lama nifas yaitu enam puluh hari. (al-Mu’tamad, I/125).
  2. Jumhur ulama berpendapat bahwa jika wanita terus mengeluarkan darah lebih dari itu maka ia harus mandi dan shalat. Dalilnya

كَانَتِ النُّفَسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقْعُدُ بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا أَوْ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

“Dahulu wanita nifas pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan diri (dari shalat, puasa, dan lainnya) setelah nifas selama 40 hari atau 40 malam. (HR. Abu Dawud no. 311, At-Tirmidzi no. 139, Ibnu Majah no. 648).

  1. Ulama sepakat bahwa semua hukum yang berkaitan dengan wanita yang mengalami nifas sama dengan hukum wanita yang sedang haid, baik halal, haram, makruh dan mandub. (Nailul Authar, I/286).
  2. Perbedaan antara nifas dengan haid terletak pada kedudukannya yang tidak berpengaruh pada iddah, karena masa iddah otomatis berhenti saat melahirkan. (Shohih Fiqh Sunnah, I/187).

 C. ISTIHADHOH

  1. Istihadoh adalah darah yang keluar di luar waktu haid dan nifas . (Kifayatul Akhyar, I/94) atau keluar langsung setelah masa haid dan nifas. Berwarna merah, encer, tidak berbau busuk, membeku.
  2. Jika darah istihadhoh keluar selain pada masa haid dan nifas maka kondisi ini tidak masalah.
  3. Jika darah istihadhoh keluar setelah masa haid. Maka ada empat kondisi, yaitu,
  • Jika memiliki kebiasaan haid yang jelas dan tahu masa haidnya, maka ia harus menunggu hingga masa kebiasan haidnya berakhir lalu mandi dan shalat. Apabila masih ada darah yang keluar maka itu dianggap darah
  • Jika tidak wanita tidak mengetahui masa haidnya, tetapi dapat membedakan antara darah haid dan darah istihadhoh maka jika keluar darah haid maka dilarang melakukan shalat. Namun jika darah itu tekah berubah menjadi darah istihadhoh maka dia harus shalat.
  • Wanita yang mengalami haid pertama dan langsung istithadhoh sehingga ia tidak mampu membedakan. Maka kasus wanita seperti ini disamakan dengan kebanyakan wanita yang berada di sekitarnya.
  • Jika lupa dengan kebiasaan haidnya maka dan tidak mampu membedakan maka hukumnya sama dengan poin tiga.
  1. Hukum wanita haid
  • Wanita yang istihadoh sama seperti wanita suci.
  • Wanita yang istihadhoh boleh melakukan berbagai macam ibadah.
  • Wanita yang istihadhoh tidak perlu wudhu setiap hendak shalat.
  • Wanita yang istihadhoh boleh melakukan jima’
  • Wanita yang istihadhoh boleh I’tikaf di masjid.

 

 

 

 

Leave a Comment