SAHUR YANG DIBERKAHI
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً
Dari Anas bin Maalik Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Bersahurlah kalian karena dalam sahur ada keberkahan.”(HR. Muttafaq Alaih, al-Bukhâri no. 1789 dan Muslim no. 1835).
KOSA KATA :
تَسَحَّرُوا : Makan sahurlah kalian
السُّحُورِ : apabila huruf sinnya didhammahkan maka artinya makan sahur (aktifiasnya); Bila dibaca fathah maka artinya adalah dzat makanan sahurnya.
بَرَكَةً : kebaikan yang banyak dan tetap.
SYARAH
Imam an-Nawawi rahimahullah memberikan judul bab dalam hadits ini dengan tema فضل السحور وتأكيد استحبابه و استحباب تأخيره وتعجيل الفطر (Bab Keutamaan bersahur dan termasuk Sunnah Muakkad, Sunnah mengakhirkan Sahur dan Sunnah menyegerakan berbuka). Lalu beliau rahimahullah menyebutkan hadits di atas. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/206).
Dinul Islam adalah din yang adil dan penuh rahmat yang memberikan bagian istirahat dan pendukung kekuatan badan dan memberikan jiwa bagiannya berupa ibadah dan ketaatan. Dalam hadits yang mulia ini, sahabat yang mulia Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang berpuasa untuk makan sahur agar mendapatkan gizi dan tambahan tenaga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sahur memiliki keberkahan dalam rangka memotivasi orang agar melakukannya. [Tanbîhul Afhâm, 3/36]
Keberkahan sahur juga dijelaskan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمْ اللَّهُ إِيَّاهَا فَلَا تَدَعُوهُ
Sesungguhnya dia adalah berkah yang diberikan Allâh kepada kalian, maka jangan kalian meninggalkannya. [Riwayat an-Nasai no. 2162 dengan sanad yang sahih. Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-nasaa’i dan shahih at-targhib wa at-tarhib 1096 ).
FAIDAH HADITS
- Ulama telah sepakat bahwa hukum sahur adalah sunnah. (Subulus Salam, hlm. 763 dan al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/206).
- Keberkahan dalam sahur ada yang bersifat agamis dan ada yang bersifat keduniaan. Secara agamis karena mengandung keberkahan dan mengikuti sunnah Nabi, sedangkan secara dunia menguatkan badan. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/206)
- Sahur sebagai pembeda antara umat islam dan ahli kitab. Karena mereka tidak sahur jika hendak puasa.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudriy Radhiyallahu anhu
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur. [HR. Muslim no. 2545).
- Demikian juga diantara keberkahan sahur adalah mendapatkan shalawat dari Allâh dan para malaikat, sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudry Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
السُّحُورُ أَكْلَةٌ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allâh dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur. (Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad 3/44 lihat sifat Shaum nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Syeikh Ali Hasan al-Halabi)
Sedangkan Imam Ibnu Hibban dan ath-Thabrani meriwayatkan hadits diatas dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma dengan lafazh :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Allâh dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur. [Hadits Ibnu Umar ini di hasankan al-Albani dalam Shahîhut Targhîb wat Tarhîb no. 1066].
- Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Keberkahan dalam sahur muncul dari banyak sisi, yaitu (karena) mengikuti sunnah, menyelisihi ahli kitab, memperkuat diri dalam ibadah, menambah semangat beraktifitas, mencegah akhlak buruk yang diakibatkan rasa lapar, menjadi pendorong agar bersedekah kepada orang yang meminta ketika itu atau berkumpul bersamanya dalam makan dan menjadi sebab dzikir dan doa di waktu mustajab. [Khulâshatul Kalâm Syarh Umdah al-Ahkâm, hlm. 111]
- Keberkahan ada pada waktu sahur menunjukkan bahwa keberkahan juga terdapat pada makhluk, sesuai dengan apa yang Allah berikan. Terkadang keberkahan ada pada seseorang dengan ilmunya, atau pada badan, akhlak, harta dan kedudukannya. Hal itu manfaat untuk dirinya dan orang lain. Ada pun tabarruk yang terlarang pada makhluk yaitu bertabaruk dengan kotoran, pakaian, rambut dan yang lainnya. Karena hal itu hanya ada pada diri Nabi saja adapun pada selainnya adalah terlarang. (Taudhihul Ahkam, II/525).
- Sunnah mengakhirkan sahur. Dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu , beliau berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
Kami bersahur bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau pergi untuk shalat.” Aku (Ibnu Abbas) bertanya, “Berapa lama antara adzan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.” (HR. Bukhariy dan Muslim no. 2547).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “Ketika memperkuat badan untuk berpuasa dan menjaga semangat beraktifitas padanya termasuk tujuan makan sahur, maka termasuk hikmah adalah mengakhirkannya. [Tanbîhul Afhâm, 3/39]
Dalam hadits yang mulia di atas dijelaskan jarak waktu mulai makan sahur dengan adzan shalat Shubuh adalah seukuran orang membaca lima puluh ayat secara sedang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. [Lihat penjelasannya dalam kitab Tanbîhul Afhâm, 3/39]
Salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Sahl bin Sa’d menceritakan :
كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِي أَهْلِي ثُمَّ تَكُونَ سُرْعَتِي أنْ أدْرِكَ السُّجُودَ مَعَ رَسُولِ اللهِ
Aku makan sahur bersama keluargaku, kemudian aku segera bergegas menuju masjid agar aku bisa bersujud (pada rakaat pertama shalat shubuh) bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [HR. al-Bukhâri no. 1786]
Dengan demikian ketentuan imsak yakni menahan diri dari makan dan minum beberapa saat sebelum terbitnya fajar adalah perkara yang di ada-adakan oleh sebagian kaum Muslimin dan menyelisihi firman Allâh Azza wa Jalla :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. [al-Baqarah/2: 187]
Juga menyelisihi tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau Radhiyallahu anhum .
Para Ulama telah menegaskan bahwa hal tersebut termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama, walaupun dilakukan dengan alasan kehati-hatian dan menjaga diri dari perkara yang haram.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Termasuk kebid’ahan yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini berupa dikumandangkannya adzan kedua (yaitu) dua puluh menit sebelum fajar di bulan Ramadhan dan memadamkan pelita-pelita yang dijadikan sebagai tanda tidak boleh makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Ini dengan anggapan dari orang yang membuat-buatnya untuk kehati-hatian dalam ibadah dan hal ini tidak diketahui adanya kecuali oleh beberapa orang saja. Hal ini menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan hingga setelah matahari terbenam beberapa waktu untuk memastikanm waktunya dalam anggapan mereka. Lalu mereka mengakhirkan buka puasa dan mempercepat sahur serta menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit sekali kebaikan dari mereka dan banyak pada mereka keburukan. Allâhul musta’an. [Dinukil dari Khulâshah al-Kalam, hlm. 118].
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama Allâh padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, yang artinya, “Celakalah orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan !” [Fatâwâ Arkânil Islâm Syeikh ibnu Utsaimin]
- Sahur dan keutamaannya tidak khusus pada satu jenis puasa saja bahkan umum untuk semua jenis puasa.
- Kesempurnaan Islam dalam memperhatikan keadilan
- Bagusnya pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyertakan hikmah satu hukum agar mudah diterima dan menampakkan ketinggian ajaran Islam.
- Disunnahkan mengakhirkan makan sahur.
- Jarak antara makan sahur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan adzan adalah sejarak bacaan lima puluh ayat.
Baca juga di TERMASUK KEBAIKAN DALAM PUASA ADALAH MENYEGERAKAN WAKTU BERBUKA
Disusun oleh Ust. Abu Rufaydah Endang Hermawan
Cianjur, 7 Sya’ban 1439 H / 24 April 2018
Referensi :
- Shahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Bulughul Maram
- Al Minhaj Syarah Muslim
- Taudhihul Ahkam
- Subulus Salam
- Ithaf Kiraam
- Khulâshah al-Kalam
- Tanbîhul Afhâm