18 total views, 1 views today
Oleh Abu Rufaydah, Lc. MA
(S1 LIPIA Jakarat dan S2 PTIQ Jakarta Jurusan Tafsir)
Dia adalah Abu Abdul Mu’thi Muhammad ibn Umar ibn Ali Al-Jawi[1] al-Bantani[2] At-Tanariyah[3] Asy-Syafi’i yang lebih dikenal dengan Syaikh Nawawi Al-Bantai. Kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten pada 1813 H atau 1813 M. Setelah mengeyam pendidikan di Tanara Imam Nawawi bersafar ke Makkah untuk belajar ilmu syar’i dan bahasa arab kepada ulama Makkah. Belajar ilmu Tafsir, hadits, fiqh, bahasa arab kepada Syaikh Ahmad al-Nahrawi, Syaikh al-Sayyid Ahmad al-Dimyati, Syaikh Zaini Dahlan. Kemudah pergi ke Madinah dan berguru kepada beberapa ulama seperti; Syaikh Muhammad Khatib al-Hanbali, tidak cukup hanya di dua kota suci tersebut, Imam Nawawi juga menuntut ke beberapa ulama di Mesir dan Syam, seperti ke Dagistani menimba ilmu ke Syaikh Yusuf al-Dagistani, lalu pulang ketanah air Indonesia disaat itu masih dijajah oleh Belanda. Karena menghadapi ancaman dan desakan dari Belanda, Imam Nawai kembali ke Makkah sampai dia wafat di Syi’bi Ali pada tanggal 25 Syawwal 1314 H[4] dan dikuburkan di pekuburan al-Ma’lah. Penulis buku Sejarah Hidup dan Silsilah Syaikh Nawawi berpendapat bahwa Imam Nawawi di kuburkan dekat dengan kuburan Abu Hajar.[5] Akan pendapat ini tidak benar karena Ibn Hajar dikuburkan di Mesir.[6]
Sejak kecil, ia telah diarahkan oleh ayahnya, K.H. Umar bin Arabi untuk menjadi seorang ulama. Ayahnya menyerahkan Nawawi kepada K.H. Sahal, ulama terkenal di Banten. Setelah belajar bersama K.H. Sahal, Nawawi belajar kepada K.H. Yusuf, seorang ulama besar Purwakarta.
Ayah Syaikh Nawawi adalah seorang pejabat penghulu. Berdasarkan silsilahnya, ayah Syaikh Nawawi merupakan keturunan kesultanan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon)[7], yaitu keturunan putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy).
Ketika berusia 15 tahun, Nawawi pergi ke Mekkah bersama dua orang saudaranya untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Nawawi tetap tinggal di Mekkah. Ia memperdalam agama Islam kepada para ulama besar kelahiran Indonesia, seperti Imam Masjid Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Tiga tahun lamanya Nawawi menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah itu, ia pun kembali ke Indonesia. Lalu, ia mengajar di pesantren ayahnya. Namun di tanah air, ia tidak dapat mengembangkan ilmunya karena saat itu negara Indonesia memang sedang dijajah Belanda. Akhirnya, Nawawi kembali ke Mekkah dan tinggal di daerah Syi’ab ‘Ali.
- Akhlak dan kedudukan Ilmunya.
Murid Imam Nawawi yang bernama Syaikh Abdus Satar al Dahlawi berkata : Imam Nawawi dikenal sebagai seorang yang bertakwa, zuhud, tawadhu, bermadzhab syafi’i, berakhlak mulia, selalu menolong orang-orang miskin, menjenguk orang sakit, menghantarkan jenazah, dan selalu berkata benar walaupun pahit. Imam Nawawi dikenal dengan keluasan ilmunya sehingga dijuluki sebagai Sayyid Ulama Hijaz.[8]
Nawawi memiliki kecerdasan dan ketekunan yang luar biasa. Hal tersebut menjadikan Nawawi sebagai murid terpandang di Masjid Haram. Ia akhirnya menjadi Imam Masjid Haram untuk menggantikan Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang telah berusia lanjut. Nawawi mendapat panggilan Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.
- Murid-muridnya.
Ia juga menjadi guru bagi siswa-siswa yang datang dari berbagai belahan dunia. Murid-murid Nawawi yang berasal dari Indonesia adalah KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). KH Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.KH Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur. KH Asy’ari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syekh Nawawi dinikahkan dengan putrinya, Nyi Maryam. KH Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan mantunya (cucu). KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di Banten). KH Ilyas, Kragilan, Serang. KH Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang. KH Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta. KH Mas Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang kemudian dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara, karena peristiwa Geger Cilegon.[9]
- Akidah dan metode Penafsiran.
Dari kitab Tafsir yang ditulis, maka akan kita dapati bahwa Imam Nawawi al-Bantani bermadzhab aqidah Asy’ariyah. Hal ini terlihat jelas dari muqoddimahnya dalam kitab Nihayatuz Zain fi Fiqhisy Syafi’iyah[10] menyebutkan bahwa dia seorang Asy’ary dari kalangan Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Diantara metodelogi penafsiran Imam Nawawi adalah saat menfsirkan ayat-ayat tentang sifat Allah, seperti tangan, wajah, istiwa’ dan penetapan keberadaan Allah.[11]
- Karya Tulis Imam Nawawi Al-Bantani
Syaikh Nawawi juga giat menulis buku. Ia termasuk penulis yang banyak melahirkan karya. Ia banyak menulis kitab tentang persoalan agama. Paling tidak, 34 karya Syaikh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf[12]. Beberapa kalangan bahkan menyebutkan bahwa Nawawi telah menulis lebih dari 100 judul buku dari berbagai disiplin ilmu. Sebagian karya Syaikh Nawawi diterbitkan di Timur Tengah. Dengan karya-karyanya ini, ia ditempatkan sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga kini. Selanjutnya, kitab-kitabnya itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan di Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga di Timur Tengah.
Nawawi pun dijuluki Imam Nawawi kedua. Nawawi pertama adalah yang menulis Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syahrul Muhadzdzab, Riyadhush Shalihin, dan lain-lain. Ia tetap dipanggil Syaikh Nawawi (al-Bantani) bukan Imam Nawawi (ad-Dimasyqi).
Nama Syaikh Nawawi pun termasuk salah satu ulama besar abad ke-14 H/19 M. Tentu ini berkat karya Nawawi yang tersebar luas dan ditulis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Berkat kemasyhurannya pula, ia mendapat gelar A’yan ‘Ulama al-Qarn ar-Ram ‘Asyar Li al-Hijrah, al-Imam al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Karya Nawawi pun banyak masuk di Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada perkembangan wacana keislaman di pesantren. Sejak 1888 M, kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Jika sebelumnya tidak ditemukan sumber referensi di bidang tafsir, ushul fiqh, dan hadits, sejak saat itu bidang keilmuan tersebut mulai dikaji. Perubahan ini juga tidak terlepas dari jasa tiga ulama Indonesia, yaitu Syaikh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib, dan Kiai Mahfuz Termas.
Karya-karya Nawawi memang sangat berpengaruh bagi pendidikan pesantren. Sampai tahun 1990 M, diperkirakan terdapat 22 judul[13] tulisan Nawawi yang masih dipergunakan di pesantren. Selain itu, 11 karya populer sering digunakan sebagai kajian di pesantren-pesantren.
Penyebaran karya Nawawi di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara pun makin memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Perlu diketahui, penyebaran karya Nawawi tersebut tidak terlepas dari jasa K.H. Hasyim Asy’ari, salah seorang murid Nawawi yang berasal dari Jombang. K.H. Hasyim Asy’ari-lah yang memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa.
Karya-karya Imam Nawawi antara lain:
- al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah.
- al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn.
- Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh.
- Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf.
- al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb.
- Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn.
- Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah.
- Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd.
- Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄.
- Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân.
- al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd.
- Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah.
- Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah.
- Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm.
- Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts.
- Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji.
- Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî.
- Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm.
- Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd.
- Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry.
- Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb.
- Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq.
- Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ.
- al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah.
- ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain.
- Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits.
- Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd.
- al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah.
- Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah.
- Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman.
- al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah al-Riyâdl al-Fauliyyah.
- Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm.
- Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd.
- al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny.
- Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm.
- al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
- Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.[14]
Karya tafsirnya, al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang sangat terkenal itu. Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis ketimbang matan yang dikomentarinya. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih karya beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di Bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci. Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.
Syaikh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib ‘Ali, sebuah kawasan di pinggiran Mekkah, pada 25 Syawal 1314 H/1879 M. Ia dimakamkan di Ma’la, Arab Saudi, dekat makam Khadijah binti Khuwailid. Beberapa tahun setelah wafat, pemerintah Kerajaan Saudi berniat memindahkan makam beliau, namun para petugas berwenang segera mengurungkan niatnya. Hal ini karena jenazah Syaikh Nawawi al-Bantani dan kain kafannya terlihat masih utuh. Jika pergi ke Mekkah, kita masih bisa berziarah ke makam beliau, di pemakaman umum Ma’la.[15]
- Mengenal Tafsir al-Munir Li Maalim at-Tanzil an Wujuhi Mahasini at-Ta’wil atau Tafsir Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’ani Majid.
Jik kita lihat dari judul tafsir yang beliau tulis, kita akan dapati judul yang bersajak, hal ini sudah menjadi kebiasan para muffasir dahulu dalam memilih judul. Tafsir ini terdiri dari dua jilid dan sudah dicetak ulang sebanyak dua kali; pertama diterbitkan oleh Daru Ihya al-Kutub al-Arabiyah Mesir dan kedua diterbitkan oleh PT. al-Ma’arif Bandung Indonesia, dari kedua percetakan tersebut tidak menyertakan tahun terbit. Adapun yang diterbitkan di Indonesia adalah foto kopi dari penerbit Mesir. Imam Nawawi memulai tafsirnya dengan muqoddimah yang singkat lalu menafsirkannya dari surat al-Fatihah sampai surat an-Naas. Setiap surat dimulai dengan nama surat dan nama lain dari surat tersebut, tempat turunnya ayat atau surat, jumlah ayat, dan Jumlah huruf. Tafsir ini selesai pada hari Kamis tanggal 5 Rabiul Akhir 1305 H.[16]
- Metode dalam Menafsirkan al-Qur’an.
Sebelum kita berbicara metodelogi penafsiran Imam Nawai, kita baca dahulu pendahuluannya sehinga kita mengetahui latar belakang penulisan tafsir Marah Labid. Dalam pendahuluannya beliau berkata : Amma Badu, Sahabat-sahabatku tercinta memintaku untuk menulis kitab Tafsir al-Majid, tetapi aku masih ragu menulisnya dikhawatirkan masuk pada golongan yang Nabi sabdakan :
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an dengan ra’yunya lalu ia benar, maka sungguh dia telah salah.[17]
“من قال في القرآن بغير علم فليتبوء مقعده من النار” . رواه الترمذي .
Siapa yang berbicara al-Qur’an tanpa ilmu maka hendaklah ia mengambil tempatnya dineraka.[18]
Semua itu aku lakukan dengan tujuan meneladani para ulama salaf dalam menulis agar tetap terjaga, bukan usahaku yang sempurna, akan tetapi setiap zaman ada pembaharuan, hal ini sebagai penyempurna kekuranganku, dan aku mengambil referensi dari berbagai kitab tafsir sperti; al-Futuhat al-Ilahiyah, mafatihul Ghaib, Sirajul Munir, Tanwirul al-Miqbas, Tafsir ibn al-Su’ud, dan aku namai tafsir ini dengan Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid.[19] Bila kita perhatikan referensi yang digunakan Imam Nawawi semuanya bersumber dari Tafsir ad-Dirayah atau Tafsir al-Ra’yi kecuali satu kitab tafsir yaitu tafsir al-Miqbas yang disandarkan kepada Ibn Abbas Radhiallahu Anhu. Disana ada beberapa kita referensi yang Imam Nawawi tidak menyebutkan dimuqoddimahnya namun akan kita dapati ketika membaca tafsirnya seperti, tafsir ath-Thabari, Tafsir Ibn Hatim al-Razi, Tafsir Abu Mansur al-Maturidi, Tafsir al-Wahidi, Tafsir al-Qofal al-Syasyi, Abu Muslim al-Ashfahani, Al-Mauridi, al-Zamakhsyari, ibn Katsir, al-Qurtubu dan As-Suyuti.[20]
Seperti juga Imam Nawawi menukil dari berbagai sumber hadir seperti, Shahih al-Mukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmizi, Sunan al-Daruquthni, Mu’jam ath-Thabari, dan Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahumullah Ta’ala.
Adapun dari kitab Asbabu Nuzul Imam Nawawi mengambil referensi dari kitab Asbabu Al-Nuzul karya Al-Wahidi. Adapun dari kitab Tarikh seperti; Tarikh Al-Bukhari, Tarikh Ibn Asakir, Sirah An-Nabawiyah Muhammad ibn Ishaq.[21]
- Pembagian Ilmu Tafsir dalam Tafsir Imam Nawawi.
Para ulama berpendapat bahwa penafsiran al-Qur’an dapat diperoleh dengan bersandar kepada hal-hal berikut:
- Kalam Allah (al-Qur’an itu sendiri), yaitu suatu ayat ditafsirkan oleh ayat yang lain. Karena Allah yang menurunkan al-Qur’an maka Allah pula yang paling mengetahui apa yang Dia maksud dengan firman-Nya.
- Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu al-Qur’an ditafsirkan dengan as-Sunnah atau hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau adalah orang yang menyampaikan wahyu Allah tersebut kepada umat manusia, maka beliau lah orang yang paling mengetahui tentang makna yang dimaksud oleh firman Allah.
- Perkataan para sahabat radhiyallahu’anhum, terutama ahli tafsir diantara mereka. Karena al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka hidup. Mereka juga adalah orang-orang yang paling tulus dalam mencari kebenaran dan paling bersih dari penyimpangan-penyimpangan yang menjadi sebab seorang terhalang dari taufik kepada kebenaran.
- Perkataan para tabi’in yang memiliki perhatian besar terhadap periwayatan tafsir dari kalangan para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena umat manusia yang terbaik setelah para sahabat adalah para tabi’in dan mereka itu lebih bersih dari kotoran penyimpangan daripada generasi sesudah mereka. Selain itu, pada masa tabi’in juga belum terjadi banyak pergeseran dan perubahan dalam bahasa arab. Oleh sebab itulah para tabi’in lebih mendekati kebenaran dibandingkan generasi sesudah mereka. Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berpaling dari madzhab para sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka kepada pemahaman yang bertentangan dengannya maka dia adalah orang yang berbuat kekeliruan dalam hal itu, bahkan tergolong pelaku kebid’ahan, walaupun dia seorang mujtahid yang boleh jadi kesalahannya itu mendapatkan ampunan.” Penunjukan makna secara syari’at maupun secara bahasa yang terkandung di dalam ayat sesuai dengan konteks pembicaraannya. Apabila terdapat perbedaan antara makna suatu kata dalam istilah syari’at dan pengertian bahasa maka yang lebih didahulukan adalah pemaknaan menurut syari’at karena al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan syari’at, bukan untuk menjelaskan bahasa, kecuali apabila terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut memang pemaknaan secara bahasa maka makna itulah yang diambil.[22]
- Tafsir al-Qur’an dengan bahasa arab.[23]
- Mentafsirkan al-Qur’an dengan akal dan ijtihad.[24]
Tafsir bil Ma’stur terbagi empat bagian :
- Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an dan inilah tafsir paling baik dan benar. Contohnya surat Ath-Thoriq dan lainnya.
- Tafsir al-Qur’an dengan Hadits. Contohnya seperti Alladzina amanuu lam yalbisu iimaanahum bizhulmin. (QS. Al An’am: 82). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkannya dengan mengacu pada ayat, “innasy syirka lazhul mun ‘azhiim.” (QS. Luqman: 13). Dengan itu, beliau menafsirkan makna “zhalim” dengan syirik.
- Tafsir Al-Quran dengan perkataan sahabat. Para sahabat adalah orang yang hadir pada saat turun al-Qur’an, mereka mengetahui untuk apa, kepada siapa, dan dimana turun al-Qur’an.[25]
- Tafsir al-Qur’an dengan perkataan tabi’in. Contohnya Istawa ilas sama’ (QS. Al-Baqorah 29). Abu Aliyah berkata Istawa bermakna irtafa’a.
- Tafsir al-Qur’an dengan bahasa arab. Seperti dalam QS. Al-Anbiya 25. Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa At-Tamatsir bermakna Al-Ashnam.
- Tafsir bil Ma’tsur.
- Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Dalam hal ini Imam Nawawi menggunakan metode yang pertama yaitu tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an dan terdapat dibeberapa tempat dalam tafsirnya. Contoh:
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات هن أم الكتاب وأخر متشابهات …
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.[26]
Lalu beliau beliau memberi contoh ayat Mutasyabih dengan ayat :
وإذا أرنا أن نهلك قرية أمرنا مترفيها ففسقوا فيها فحق عليه القول……
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.[27] Dhohir ayat ini mereka diperintahkan untuk durhaka.
Dan muhkam dengan ayat :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ
Sesungguhnya Allâh tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.[28]
Sebagai bantahan kepada orang-orang kafir ketika mereka mengatakan :
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allâh menyuruh kami mengerjakannya.[29]
- Qiro’at .
Imam Nawawi memasukan bab Qiro’ah kedalam tafsirnya. Contohnya dalam Firman Allah :
إنما ذالكم الشيطان يخوف أولياءه..
Imam Nawawi berkata : Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud membaca : يخوفكم أولياءه sedangkan Ubay ibn Ka’ab membaca : يخوفكم بأولياءه[30]
- Tafsir al-Qur’an dengan As-Sunnah.
Dalam tafsirnya Imam Nawawi banyak menafsirkan al-Qur’an dengan hadits untuk menjelaskan hal-hal yang belum jelas, takhsis dari ‘Am, Taqyid al-Muthlaq, menerangkan al-Ahkam, dan hal-hal lain yang membantu kita untuk memahami ayat. Contohnya adalah ….
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.[31]
Dari Aisyah Radhiallahu Anha bahwa Hamzah al-Aslami bertaya kepada Nabi : Wahai Rasulullah apakah aku mesti puasa dalam kondisi safar ? Nabi menjawab : Jika engkau berkehendak dan berbukalah jika engkau mau.[32]
Dari apa yang Imam Nawai sebutkan dalam merujuk kepada kitab-kitab hadits terkadang beliau menyertakan referensinya misalnya beliau berkata : Hadist diriwayatkan al-Bukhari, hadist riwayat Muslim dan lainnya. Terkadang juga Imam Nawawi tidak menyertakan rujukan hadits sehingga ada sebagian yang dhaif dan maudhu’, contohnya adalah :
ويتفكرون في خلق السموات والأرض () يقول : …… وقوله صلى الله عليه وسلم : من عرف ربه عرف نفسه.[33]
Siapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Rabbnya.
- Asbabu Nuzul.
Imam Nawawi juga banyak menyertakan asbabu al-Nuzul dalam tafsirnya untuk mempermudah dalam memahami ayat. contohnya ketika sampai pada ayat tentang Li’an beliau berkata : Diriwayatkan Bahwasannya Hilal bin ‘Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahmaa’. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : ‘Al-Bayyinah (hendaklah kamu mendatangkan bukti) atau kamu akan dirajam’. Maka Hilal berkata : ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku benar. Semoga Allah menurunkan ayat yang dapat membebaskan punggungku dari hukuman (hadd)’. Kemudian Jibril turun dan membawa wahyu kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ) فقرأ حتى بلغ (إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
”Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam membaca hingga sampai kepada ayat : ”Jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”.[34]
Terkadang juga Imam Nawawi menyebutkan asbabu Nuzul lebih dari satu untuk satu peristiwa tanpa menyetujui satupun, contohnya :
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.[35]
Terkadang juga Imam Nawawi menyebutkan lima asbabu nuzul dan tidak memberikan komentar shahih atau dhaifnya asbabu nuzul, seperti yang terjadi didalam menafsirkan ayat berikut :
إن الله يأمركم أن تؤدوا الآمانات إلى أهلها
Imam Nawawi menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Utsman ibn Abi Thalhah.[36] Ketika Nabi masuk Makkah di Fathu Makkah, Utsman ibn Abi Thalhah mengunci pintu ka’bah lalu naik ke loteng ka’bah dan menolak memberikan kunci kepada nabi. Lalu Ali ibn Abi Thalib mengambil kunci dari Utsman ibn Abi Thalhah lalu membukanya dan Rasul pun masuk lalu shalat dua rakaat.
As-Suyuthi mengomentari hadits diatas; Telah masyhur bahwa riwayat diatas berkaitan dengan kunci ka’bah. Adapun sanad-sanadnya ada yang dhaif dan ada juga yang munqoti’.[37]
Ketika mengambil pendapat Imam Nawawi lebih sering menukil dari perkataan Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Mas’ud, Ali ibn Abi Thalib, Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, Ustman ibn Affan, Ubay ibn Ka’ab, dan Aisyah Radhiallahu Anhum. Dari sekian banyak sahabat Nabi, Imam Nawawi lebih banyak lagi mengambil pendapat dari Abdullah ibn Abbas. Namun sangat disayangkan Imam Nawawi tidak memberikan komentar ataupun penjelasan dari pendapat Abdullah ibn Abbas yang shahih atau dhoif, sehingga terjadi campur aduk keduanya. Terutama bagi yang awam akan kesulitan dalam membedakan keduanya.
Seperti sudah dijelaskan diawal bahwa Imam Nawawi mengambil referensi tafsrinya dari kitab Tanwir al-Miqbas yang ditulis oleh Abu Thahir Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuzi Abadi Asy-Syafi’i yang dikenal sebagai penulis al-Qomus al-Muhith. Fairuz Abadi sering meriwayatkan dari jalur Thariq ibn Marwan al-Sidi al-Shagir dari Muhammad ibn Al-Saib al-Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas. Sedangkan Muhammad ibn Marwan al-Sidi dituduh sebagai peletak hadist dan Muhammad ibn Saib al-Kalbi dhaif. Maka para Ulama Jarh wa Ta’dil sepakat mengatakan keduanya dhaif. Seperti yang dikatakan oleh As-Suyuthi : dengan kedhaifana al-Kalbi, maka tafsir dari Muhammad ibn Marwan al-Sidi lebih dhoif dibandingkan al-Kalbi.[38] Maka tidak sepantasnya tafsir ini disandarkan kepada Ibnu Abbas.[39]
Dariantara ayat yang menyebutkan penafsirannya dari Muhammad ibn al-Saib al-Kalbi :
ولسليمان الريح عاصفة تجري بأمره إلى الأرض التي باركنا فيها
Dan (Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri berkah padanya.[40]
Al-Kalbi mengatakan : Adalah Sulaiman Alahissalam dan kaumnya mengendarai angin dari Syam ke tempat mana saja yang mereka kehendaki kemudian kembali ke rumahnya.[41]
Dalam Tafsir Imam Nawawi pun tidak kosong dari kisah-kisah israiliyat dan riwayat-riwayat yang aneh yang dinukil dari kitab-kitab klasik, namun disayangkan tidak menjelaskan keshahihan dan kedhaifan riwayatnya terutama yang berkaitan dengan Aqidah yang bertentangan dengan nash yang shahih dari al-Qur’an dan hadits. Contohnya
فقلنا اضرب بعصاك الحجر
Imam Nawawi menjelaskan tongkat dan batu, dimana tongkat terbuat dari pohon yang ada di surga memiliki panjang sepuluh hasta lebi panjang dari Nabi Musa, pohon ini pun menyala dikegelapan. Awalnya Nabi Adam yang membawanya ke surge. Kemudian menjadi warisan para Nabi setelahnya hingga sampai kepada Nabi Syuaib, lalu diberikan kepada Nabi Musa. Adapaun batu yang terbuat dari batu thuwa berbentuk segi empat yang memiliki empat sisi. Riwayat lain mengatakan bahwa Allah memberikan batu yang terdiri dari dua belas tonjolan seperti bentuk payudara wanita. Jika tongkat tersebut dipukulkan ke batu, maka setiap tonjolan tersebut mengalirkan air seperti airan air sungai.[42]
وورث سليمان داود وقال يا أيها الناس علمنا منطق الطير
Dalam surat An-Naml Ka’ab al-Anshari meriwayatkan dengan riwayat yang sangat panjang yang mengisahkan tentang banyaknya suara hewan diman Nabi Sulaiman mampu menjelaskan setiap suara kepada manusia.[43]
- Tafsir bil al-Ra’yi.
Tafsir bil Ra’yi terbagi dua, yaitu; yang tercela dan terpuji.
- Tafsir bil Ra’yi yang tercela adalah tafsir yang bersandar pada persaaan, logika atau akal yang tidak didasari dengan ilmu. Maka Rasulullah mengancam orang-orang seperti ini. Rasulullah bersabda :
“من قال في القرآن بغير علم فليتبوء مقعده من النار” . رواه الترمذي .
Siapa yang berbicara al-Qur’an tanpa ilmu maka hendaklah ia mengambil tempatnya dineraka. (HR. At-Tirmizi)
- Tafsir bil Ra’yi yang terpuji adalah mentafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan mengembangkan maksud ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Musaid ibn Sulaiman ath-Thayyar memberikan beberapa panduan agar tafsir bil ra’yi dapat diterima.
- Kembali kepada dalil-dalil yang shahih dan tidak menyelisihinya.
- Kembali kepada atsar-atsar para sahabat dan tidak menyelisihinya.
- Tidak keluar dari kaidah bahasa arab.
- Memperhatikan kaidah-kaidah al-qur’an seperti, Aam, Takhshish, Nasakh Mansukh dan lainnya.
Imam Nawawi dalam menafsirkan al-Qur’an dengan metode tafsir bil ra’yi terlihat dari beberapa sisi diantaranya:
- Bahasa Arab.
- Nahwu dan I’rab.
ومن يطع الله ورسوله يدخله جنات تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها.[44]
Imam Nawawi berkata : kata Jannatin kedudukannya menjadi Dhorfiyyah menurut jumhur dan menjadi Mafuliyah menurut pendapat al-Akhfas.[45] Terkadang juga menyebutkan perbedaan pendapat ulama dan I’rab kemudian merajjihkan salah satu dari keduanya. Contohnya
كبرت كلمة تخرج من أفواههم[46]
Imam Nawawi berkata : Kata Kalimatan kedudukannya menjadi al-Tamyiz dan dengan Rafa’ menjadi al-Failiyah.[47]
- Menjelaskan mufradat al-Qur’an.
Selain menjelaskan tentang I’rab. Imam Nawawi juga piawai dalam menjelaskan makna kalimat. Dengan pendekatan ini setiap pembaca akan mampu membedakan kalimat yang sama namun beda makna. Contohnya :
الحمد لله الذي خلق السموات والأرض وجعل الظلمات والنور.[48]
Kata Al-Madhu lebih umum daripada kata al-Hamdu, karena al-Madhu untuk yang berakal dan tidak berakal. Seperti halnya seseorang memuji yang berakal karena keutamaan dan kelebihannya, seperti hal itu pula mutiara dipuji karena bentuknya. Sedangkan al-Hamdu tidak diberika keculai kepada pelaku kebaikan. Al-Hamdu lebih umum daripada al-Syukru, karena al-Hamdu diberikan kepada yang melakukan pekerjaan yang agung dari nikmat yang sampai kepadamu atau kepada orang lain. Sedangkan al-Syukru mengagungkan-Nya karena nikmat telah sampai kepadamu saja. Maksud dari ayat ini adalah menunjukan bahwa ada sang pencipta. Adapun perbedaan kata Ja’ala dan khalaqo dimana keduanya memiliki makna nasya’a dan badaa, akan tetapi makna khalaqa lebih khusus untuk penciptaan kauni yang didalamnya terdapat takdir dan kesamaan. Sedangkan ja’ala lebih umum yang bermakna tasyri’, seperti pada ayat berikut :
ما جعل الله من بحيرة …….[49]
- Menjelaskan Makna Huruf.
Imam Nawawi pun memperhatikan makna setiap huruf dalam tafsirnya. Hal ini bisa kita dapati di berbagai ayat. contohnya :
وامسحوا برءوسكم….[50]
Imam Nawawi lebih condong kepada pendapat Imam Syafi’I, dimana huruf Ba’ menjadi pembeda antara mengusap selurah kepala dan sebagian. Seperti kata :
مسحت المنديل و مسحت يدي بالمنديل
Adapun kata yang pertama mengandung makna mengusap tangan seluruhnya, sedangkan yang keduan bermakna mengusap tangan sebagian saja.[51]
- Balaghah[52] al-Qur’an.
Dalam tafsir Imam Nawawi pun tidak kosong dari pembahasan Balaghah. Keindahan bahasa arab dapat kita nikmati jika kita mampu mendalami lautan ilmu Balaghoh. Imam Nawawi memiliki perhatian yang sangat tinggi kepada ilmu balaghah hal ini bisa kita lihat dalam tafsirnya, contohnya :
………وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
…… .. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.[53]
Imam Nawawi berkata : “Adapun isnad ini termasuk pada majaz aqli, karena kata al-Akhdzu lil Ahdi pada hakikatnya adalah Allah, tetapi untuk mengindahkan kata didalamnya sehingga seolah-olah para wanitalah yang mengamambil janji. Maka maknanya menjadi Allahlah yang mengambil perjanjian kepada kalian (suami) dengan sebab para wanita (istri).[54]
- Memberikan Solusi Dalam Permasalahan Fiqh.
Selain perhatian terhadap ilmu bahasa arab, Nahwu dan Balaghoh. Imam Nawawi pun sangat memperhatikan masalah fiqhiyah yang berkatitan dengan ayat-ayat ahkam. Contohnya :
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.[55]
Imam Nawawi berkata : Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan pada awal bulan maka hendaklah ia puasa. Adapun menyaksikan bisa dengan melihat atau mendengar. Jika ada seseorang melihat hilal Ramadhan kemudian Imam (pemerintah) menolaknya, maka wajib baginya untuk berpuasa pada hari itu. Namun jika yang melihatnya dua orang yang adil maka wajib baginya puasa dan berbuka bersama-sama. Jika hanya satu orang yang menyaksikan hilal diawal bulan syawal maka tidak diterima, berbeda dengan melihat hilal diawal ramadhan maka harus puasa, karena awal ramadhan perintah puasa maka diterima dengan perkataan satu orang untuk menetapkan ibadah, tapi tidak diterima untuk menentuka satu Syawwal kecuali harus dengan dua orang.[56]
Dari pendapat Imam Nawawi diatas, maka sangat jelas Imam Nawawi memilih Madzhab Jumhur Ulama yaitu menerima khabar satu orang dala menentukan awal bulan ramadhan. Dan ini sudah menjadi kesepakatan para ulama dengan syarat harus adil.[57]
Dapat disimpulkan habwa Tafsir al-Munir atau Marah Labid termasuk pada tafsir bil-Ra’yi dan bil Ma’stur dengan metodelogi Tahlili. Selain itu Imam Nawawi sangat memperhatikan Bahasa Arab dan Ilmu Bahasa Arab seperti Nahwu dan Balaghoh. Mengingat kedalaman ilmu Imam Nawawi pula Tafsir al-Munir mencangkup berbagai disiplin ilmu agama.
[1] Daerah di tanah Jawa.
[2] Diambil dari daerah Bantan Jawa Barat
[3] Salah satu kampong di Banten.
[4] Sirajuddin Abbas, Thabaqot Asy-Syafiiyah, Tarjamah Imam Nawawi, Jakarta: Pustaka Tarbiyah 1975. wafat 1315 H
[5] Rafiuddin Ramli, Sejarah Hidup dan Silsilah Syaikh Muhammad Nawawi, t.tp. 1399, hal. 3-5.
[6] Al-Syahawi, Dau’ al-Lami’, jilid 2, hal. 40.
[7] lahir pada tahun 1448 M di Makkah Mukarromah. Lihat dalam buku Rahmat Abdullah, Walisongo : Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa, Solo: Al-Wafi, 2015. Hal. 100.
[8] Rafiuddin Ramli, Sejarah Hidup dan Silsilah Syaikh KH. Muhammad Nawawi, hal. 5
[9] Rafiuddin Ramli, Sejarah Hidup dan Silsilah Syaikh KH. Muhammad Nawawi, hal. 10-11
[10] Imam Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Fiqhisy Syafi’iyah, Kaira: Darul Qolam 1977 dalam muqoddimahnya.
[11] Muhammad Rasyid al-Rajjal, Tafsir Marah Labid, Jakarta : LIPIA 2000, hal. 30
[12] https://sabrial.wordpress.com/syaikh-nawawi-al-bantani-1/, diunduh pada 3/3/2016, 11.00 WIB
[13] Muhammad Amin al-Dhanawi, Marah Labid Li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, Muqoddimah, Bairut: Darul Kutub al-Amiyah, 1997, jilid 1, hal. 4. Hanya menyebutkan 10 kitab yang ditulis oleh Imam Nawawi.
[14] Rafiuddin Ramli, Sejarah Hidup dan Silsilah Syaikh KH. Muhammad Nawawi, hal. 10-11.
[15] Rasyid bin Abdul Mun’im al-Rajjal, Al-Syaikh Nawawi al-Jawi waThariqotuhu fi Tafsir, Jakarta: LIPIA, 2000, hal. 23.
[16] Rasyid Abdul Mun’im al-Rajjal, Al-Muwajjih, Syaikh Nawawi al-Jawi, hal. 28.
[17] HR. at-Tirmizi dari sahabat Jundub ibn Abdillah , Syaikh al-Albani melemahkanya.
[18] HR. At-Tirmizi, jilid 2, hal. 157.
[19] Tafsir al-Munir, Muqoddimah, jilid 1, hal. 7.
[20] Rasyid Abdul Mun’im al-Rajjal, Al-Muwajjih, Syaikh Nawawi al-Jawi, hal. 28
[21] Rasyid Abdul Mun’im al-Rajjal, Al-Muwajjih, Syaikh Nawawi al-Jawi, hal. 29.
[22] Muhammad Ibn Utsaimin, Ushul fi at-Tafsir, hal. 27.
[23] Muhammad Ibn Jamil Zainu, Kaifa Nafhamul Qur’an (Saudi, tanpa penerbit dan tahun, hal. 15)
[24] Musa’id bin Sulaiman Ath Thoyyar, Fusuulun Fii Ilmi tafsir, Riyadh, Darun Nasyri Ad-Dauli 1993 hal. 24.
[25] Muhammad Abdul Adzhim Az-Zarqoni, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, jilid 2, hal. 11-12.
[26] QS. Alimran : 7.
[27] QS. Al Israa’: 16.
[28] QS. Al-A’râf : 28.
[29] QS. Al-A’râf : 28
[30] Imam Nawawi al-Bantani, Tafsir al-Munir, Jilid 1, hal. 130.
[31] QS. Al-Baqorah : 184.
[32] Imam Nawawi al-Bantani, Tafsir al-Munir, Jilid 1, hal. 37.
[33] Hadits ini Maudhu, lihat kitab Al-Asrar al-Marfu’ah no. 506, Tanzih al-Syari’ah jilid 2 no 42 dan Tadzkirat al-Maudhu’ah no. 111.
[34] HR. Al-Bukhari no. 2671.
[35] Al-Baqarah: 274.
[36] Ustman ibn Abi Thalhah masuk islam pada perjanjian hudaibiyah dan berhijrah bersama Khalid ibn Walid.
[37] As-Suyuthi, al-Tahbir fi Ilmi al-Tafsir, hal. 88.
[38] As-Suyuthi, al-Darru al-mantsur fii al-Tafsir bil Ma’tsur, jilid 6, hal. 433 dan al-Itqon fii Ulumil Qur’an, jilid 2, hal. 189.
[39] Rasyid ibn Abdul Mun’im Al-Rajjal, Syaikh Imam Nawawi al-Jawi wa Thariqotuhu fii al-Tafsir, hal. 35.
[40] QS. Al-Anbiya : 81
[41] Tafsir al-Munir, jilid 2. Hal. 24.
[42] Tafsir al-Munir, jilid 1, hal. 16.
[43] Tafsir al-Munir, jilid 2. Hal. 122.
[44] QS. An-Nisaa ; 13.
[45] Tafsir al-Munir, jilid 1, hal. 35.
[46] QS. Al-kahfi : 5.
[47] Tafsir al-Munir, jilid 1, hal. 492.
[48] QS. Al-An’am : 1
[49] QS. Al-Maidah : 103 dan Tafsir al-Munir, jilid 1, hal. 230.
[50] QS. Al-Maidah : 7
[51] Imam Nawawi al-Bantani, Tafsir al-Munir, jilid 2, hal. 192.
[52] Balaghah adalah mengungkapkan makna yang estetik dengan jelas mempergunakan ungkapan yang benar, berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya dengan tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan kecocokannya dengan pihak yang diajak bicara
[53] QS. An Nisa: 21.
[54] Imam Nawawi al-Bantani, Tafsir al-Munir, jilid 1, hal. 145.
[55] QS. Al Baqarah: 185.
[56] Imam Nawawi al-Bantani, Tafsir al-Munir, jilid 1, hal. 48.
[57] Ibnu Hajar, Subulussalam Syarah Adillatul Ahkam, jilid 2, hal. 301.
Related Post
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.