IJMA’ ULAMA, PEMBATAL PUASA
Ulama Empat Madzhab telah sepakat bahwa tujuh hal berikut ini membatalkan puasa, diantaranya :
- Makan
- Minum
- Jima’ (hubungan badan).
- Haidh
- Nifas
- Murtad
- Muntah dengan Sengaja
Adapun dalil pembatal puasa dari makan, minum dan Jima’ yaitu firman Allah,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَٱشْرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلأسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..(QS. Al-Baqarah: 187).
Ketika Allah menghalalkan makan, minum dan jima’ di malam hari. Mafhum Mukhalafah-nya (kebalikannya) Allah melarang melakukan tiga hal di atas pada siang hari, jika dilakukan maka batal puasanya.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata :
لَمْ يَخْتَلِف أَهْلُ العِلْمِ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الصَائِمِ فِي نَهَارِ الصَّوْمُ الرَفَثُ وَهُوَ الْجِمَاعُ وَالْأَكْلُ وَالشُرْبُ
“Tidak terdapat perbedaan di kalangan para ulama bahwa Allah mengharamkan bagi orang yang berpuasa untuk melakukan rafats yaitu jimak, makan, dan minum di siang hari.” (Al-ijma’, hlm. 59)
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
يُفْطِرُ بِالْأَكْلِ وَالشُرْبِ بِالْإِجْمَاعِ، وَبِدَلَالَةِ الْكِتَابِ وَالسُنَّةِ
“Orang yang berpuasa menjadi batal karena makan dan minum dengan sepakat ulama, dan berdasarkan dalil Al-Quran dan sunah.” (Al-Mughni, 3/119).
Beliau juga mengatakan,
لَا نَعْلَمُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ خِلَافاً ِفي أَنَّ مَنْ جَامَعَ فِي الفَرْجِ فَأَنْزَلَ، أَوْ لَمْ يَنْزِلْ، أَوْ دُوْنَ الْفَرْجِ فَأَنْزَلَ، أَنَّهُ يُفْسِدُ صَوْمَهُ
“Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di antara ulama bahwa orang yang melakukan hubungan badan sampai keluar mani, maupun tidak sampai keluar mani, atau di selain kemaluan kemudian keluar mani, maka puasanya batal.” (Al-Mughni, 3/134)
Syaikhul islam Ibn Taimiyah rahimahullah berkata :
مَا يُفْطِرُ بِالنَّصٍّ وَالْإِجْمَاعِ وُهُوَ: الأَكْلُ وَالشُرْبُ وَالْجِمَاعُ
“Sesuatu yang bisa membatalkan puasa berdasarkan dalil dan sepakat ulama: makan, minum, dan hubungan badan.” (Majmu’ Fatwa, 25/219)
- Haidh
- Nifas
Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah ketika wanita sedang haid dia tidak boleh shalat dan puasa..” (HR. Bukhari 304).
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْحَائِضَ وَالنُّفَسَاءَ لاَ يَحِلُّ لَهُمَا الصَّوْم، وَأَنَّهُمَا يُفْطِرَانِ رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِ، وَأَنَّهُمَا إِذَا صَامَتَا لَمْ يَجْزَئْهُمَا الصَوم
“Ulama sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak boleh berpuasa. Mereka harus berbuka ketika ramadhan dan mengqadha di hari yang lain. Dan jika ada wanita haid dan nifas yang nekat puasa maka puasanya tidak sah.” (Al-Mughni, 3/152).
Syaikhul Islam berkata :
وَكَذَلِكَ ثَبَتَ بِالسُنَّةِ وَاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّ دَمَ الحَيْضِ يُنَافِي الصَوم، فَلَا تَصُومُ الحَائِضُ، لَكِنَّ تَقْضِي الصَّومَ
“Demikiann pula terdapat dalil sunah dan sepakat kaum muslimin, bahwa keluarnya darah haid, menyebabkan puasa batal. Karena itu, wanita haid tidak boleh puasa, namun wajib mengqadha puasanya.” (Majmu’ Fatawa, 25/220).
Dikesempatan yang lain juga beliau berkata :
وَخُرُوْجُ دَّمِ الحَيْضِ وَالنِّفَاسِ يُفْطِرُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ
“Keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa dengan sepakat ulama.” (Majmu’ Fatawa, 25/267)
- Murtad
Allah berfirman,
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya (islam), lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 217)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
لاَ نَعْلَم بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ خِلَافاً فِي أَنَّ مَنِ ارْتَدَّ عَنِ الْإْسْلَاِم فِي أَثْنَاءِ الصَوْمِ أَنَّهُ يُفْسِدُ صَوْمَهُ، وَعَلْيْهِ قَضَاء ذَلِكَ إِذَا عَادَ إَلىَ الِإسْلَامِ، سَوَاءٌ أَسْلَمَ فِي أَثْنَاءِ الْيَوْمِ أَوْ بَعْدَ انْقِضَائِه…
“Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama bahwa orang yang murtad dari agama islam ketika sedang puasa maka puasanya batal, dan dia wajib mengqadha pusanya di hari itu, jika dia kembali masuk islam. Baik masuk islam di hari murtadnya atau di hari yang lain…” (Al-Mughni, 3/133)
- Muntah dengan Sengaja
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَإِنْ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Siapa yang muntah tidak sengaja dan dia sedang puasa maka tidak perlu dia qadha. Namun barangsiapa yang sengaja muntah maka dia harus mengqadha.” (HR. Abu Daud 2380 dan dishahihkan Al-Albani).
Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ijma’ mengatakan,
وَأَجْمَعُوا عَلَى إِبْطَالِ صَوْمِ مَنِ اسْتَقَاء عَامِداً
“Para ulama sepakat bahwa puasa orang yang muntah dengan sengaja statusnya batal.” (Al-Ijma’, 49).
Cianjur, 16 Sya’ban 1439 H