BOLEHKAH MENCIUM PASANGAN SAAT PUASA ?
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ ، وَهُوَ صَائِمٌ ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لإِرْبِهِ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106).
Imam an-Nawawi rahimahullah memberikan judul dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim dengan bab بَاب بَيَان أَنَّ الْقُبْلَةَ فِي الصَومِ لَيْسَتْ مُحَرَّمَة عَلَى مَنْ لَمْ تَحَرَّك شَهْوَتَه (Bab Penjelasa bahwa Mencim Saat Puasa tidak Haram Bagi Yang tidak Menggerakkan Syahwatnya), kemudiaan beliau menyebutkan 16 hadits terkait bab di atas.
FAIDAH HADITS
- Imam asy-Syafi’I rahimahullah berkata : “Mencium saat puasa tidak membatalkan jika tidak menggerakkan syahwatnya, namun meninggalkannya jauh lebih utama. (Al-Minhaj, 7/216).
- Hadits di atas menunjukkan bolehnya seorang suami mencium istrinya dalam kondisi puasa, akan tetapi dengan syarat tidak menggerakkan syahwatnya. (Taudhihul Ahkam, II/533).
- Hadits ini juga menunjukkan makruh bagi siapa saja yang ketika mencium pasangannya menyebabkan syahwatnya naik.
- Ulama sepekat jika mencium pasangan lalu mengeluarkan sperma, maka hukumnya haram.
- Nabi mencium istrinya karena mampu mengendalikan syahwatnya.
- Keistimewaan istri-istri Nabi yang mengetahui perkara-perkara yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh sahabat lainnya.
- Ulama berbeda pendapat Jika keluar madzi saat puasa, sebagian berpendapat telah batal puasanya, sebagian yang lain tidak, pendapat terakhir yang dipilih oleh Imam asy-Syafi’I dan Abu Hanifal lebih tepat. Karena madzi dan mani berbeda.
Referensi
- Bulughul Maram
- Taudhihul Ahkam
- Lathoiful Ma’arif.
- Subulus Salam