18  CATATAN PENTING TENTANG I’TIKAF

Loading

18  CATATAN PENTING TENTANG I’TIKAF

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (HR. Bukhari no. 2044)

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” ([4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172).

Ramadhan adalah bulan yang istimewa, setiap amalan di dalamnya diistimewakan dan dilipat gandakan pahalanya. Jika di 20 hari sebelumnya kita tidak memaksimalkan ibadah, maka ada satu kesempatan di partai final yaitu I’tikaf. Seorang yang berlaga di partai final tau apa yang mesti mereka lakukan, demikian juga bagi seorang muslim untuk tidak menyia-nyiakan amalan bulan ramadhan terutama I’tikaf, berikut ini 18 catatan penting tentang I’tikaf;

  1. I’tikaf naknanya menetap di atas sesuatu atau dalam melakukan sesuatu. Orang yang menetap di masjid dan tinggal di dalamnya untuk beribadah disebut Mu’takif atau (Lisanul Arab, IX/252).
  2. I’tikaf dianjurkan bulan Ramadhan berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas dan yang paling utama dikerjakan di sepuluh akhir bulan Ramadhan berdasarkan riwayat dari Aisyah.
  3. Tujuan i’tikaf adalah mengumpulkan hati kepada Allah ta’ala, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya dan hal ini tentunya dapat terealisasi di segala waktu. Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah I’tikaf lebih ditekankan untuk dilakukan.
  4. Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan,“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf. (Al Majmu’ 6/475; Asy Syamilah)

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf. (Al Mughni, 4/456)

  1. I’tikaf tidak disyari’atkan kecuali di dalam masjid seperti firman Allah.

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

  1. I’tikaf dilaksanakan di dalam masjid mana saja, hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan masjid. Sebagian ulama ada yang mensyaratkan masjid yang didirikan di dalamnya shalat jum’at. Akan tetapi mayoritas ulama tidak menysyaratkan demikian berdasarkan keumuman ayat di atas.
  2. Jumhur yang menyatakan bahwa i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita berdasarkan dilil bahwa Aisyah meminta izin untuk I’tikaf, dan beliau mengizinkannya….” (HR. Bukhari no. 2045 dan Muslim no. 1172).
  3. Dua syarat bagi wanita dibolehkannya I’tikaf :
  • Izin dari suaminya. Karena istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suaminya.
  • Tidak menimbulkan fitnah. Seorang wanita dibolehkan I’tikaf selama tidak menimbulkan fitnah. Hendaknya panitia I’tikaf untuk memperhatikan tempat bagi wanita dan memahami aturan-aturan I’tikaf.
  1. Diperbolehkan bagi wanita mustahadhah (haid) untuk melakukan i’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang istihadhah beri’tikaf bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang wanita ini melihat darah kekuningan dan darah kemerahan ….” (HR. Al-Bukhari)
  2. Mayorita Ulama di antaranya Abu Hanifah dan asy-Syafi’I berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal mengenai lamanya I’tikaf. Adapun Imam Malik mengatakan minimal semalam berdasarkan hadits Umar bin Kaththab ketika Nabi memerintahkannya untuk menunaikan nazarnya.
  3. Awal masuk masjid bagi orang yang beri’tikaf yaitu setelah shalat subuh di hari ke 21 bulan ramadhan. Seperti yang diceritakan Aisyah tentang I’tikafnya Nabi

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak i’tikaf, beliau shalat subuh kemudian masuk ke tempat khusus untuk i’tikaf beliau.” (HR. Bukhari Muslim)

  1. Namun para ulama khawatir jika hari ke 21 terjadi malam lailatul Qodar dan hadist di atas tidak menunjukkan bahwa Nabi mulai I’tikaf pada waktu subuh ke 21. Maka sebaiknya memulai dari maghrib malam ke 21. Seperti yang di katakana Imam an-Nawawi rahimahullah berkata “Mayoritas ulama memahami hadis di atas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke bilik i’tikaf, memisahkan diri, dan menyendiri setelah beliau melakukan shalat subuh. Bukan karena itu waktu mulai i’tikaf, namun beliau sudah tinggal di masjid sebelum maghrib. Setelah shalat subuh, beliau menyendiri.” (Syarh Shahih Muslim an-Nawawi, 8:69)
  2. Keluar I’tikaf yaitu setelah fajar (shalat subuh) di hari idul Fitri untuk berangkat ke tanah lapang.
  3. Rukun i’tikaf (iktikaf)
  • Niat. Letak niat itu di hati dan tidak boleh dilafalkan. Sebatas keinginan untuk itikaf itu sudah dianggap berniat untuk i’tikaf.
  • Dilakukan di masjid, baik masjid untuk jumatan mauapun yang tidak digunakan untuk jumatan.
  • Menetap di masjid.
  1. Pembatal i’tikaf (iktikaf)
  • Hubungan biologis dan segala pengantarnya.
  • Keluar masjid tanpa kebutuhan.
  • Haid dan nifas.
  • Gila atau mabuk.
  • Batasan “dianggap telah keluar masjid”. Orang yang i’tikaf dianggap keluar masjid jika dia keluar dengan seluruh badannya. Jika orang i’tikaf hanya mengeluarkan sebagian badannya maka tidak disebut keluar masjid.‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepala beliau ke ruanganku ketika aku berada di dalam, kemudian aku menyisir rambut beliau, sedangkan aku dalam kondisi haid.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
  1. Yang diperbolehkan ketika i’tikaf (iktikaf)
  • Keluar masjid karena kebutuhan mendesak, seperti: makan, buang hajat, dan hal lain yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid.
  • Mengeluarkan sebagian anggota badan dari masjid.
  • Makan, minum, tidur, dan berbicara.
  • Wudhu di masjid.
  • Bermuamalah dan melakukan perbuatan (selain ibadah) di masjid, kecuali jual beli.
  • Menggunakan minyak rambut, parfum, dan semacamnya.
  • Berkunjungnya seorang istri kepada suaminya yang sedang I’tikaf dan berduaan dengannya. Berdasarkan hadits Shafiyyah (istri Nabi) yang datang menemui Nabi. (HR. Bukhari no. 2035 dan Muslim no. 2175)
  • Mendirikan kemah di bagian belakang Masjid yang diguanakan untuk I’tikaf. Berdasarkan keterang dari Aisyah (HR. al-Bukhari 2023).
  • Meletakan kasur atau dipan di masjid. Seperti riwayat dari Umar bahwa ketika Nabi I’tikaf dihamparkan kasur untuknya dan di letakan dipan untuknya. (HR. Ibnu Majah no. 642).
  • Meminang dan melakukan akad nikah diperbolehkan
  1. Yang dimakruhkan ketika i’tikaf (iktikaf)
  • Menyibukkan diri dengan kegiatan yang tidak bermanfaat, baik ucapan maupun perbuatan.
  • Tidak mau berbicara ketika i’tikaf (iktikaf), dengan anggapan itu merupakan bentuk ibadah. Perbuatan ini termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya.
  1. Mandi ketika i’tikaf (iktikaf)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan bahwa hukum mandi ketika i’tikaf dibagi menjadi tiga:

  • Wajib, yaitu mandi karena junub.
  • Boleh, yaitu mandi untuk menghilangkan bau badan dan kotoran yang melekat di badan.
  • Terlarang, yaitu mandi sebatas untuk mendinginkan badan. (Majmu’ fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 20:178)

Disusun oleh Ust. Abu Rufaydah Endang Hermawan Unib
CIanjur, 18 Ramadhan 1439 H

Leave a Comment