11 ADAB SEORANG GURU
Imam al-Ghazali Rahimahullah
آداب العالم: لزوم العلم، والعمل بالعلم، ودوام الوقار، ومنع التكبر وترك الدعاء به، والرفق بالمتعلم، والتأنى بالمتعجرف، وإصلاح المسألة للبليد، وبرك الأنفة من قول لا أدري، وتكون همته عندالسؤال خلاصة من السائل لإخلاص السائل، وترك التكلف، واستماع الحجة والقبول لها وإن كانت من الخصم.
- Pertama, tidak berhenti menuntut ilmu. Menuntut ilmu tidak ada batas akhirnya karena kewajiban ini dilakukan sejak dari ayunan ibu hingga liang lahat.
- Kedua, bertindak dengan ilmu. Orang alim (guru) hendaknya bertindak berdasarkan ilmu terlebih dalam hubungannya dengan ibadah.
- Ketiga, senantiasa bersikap tenang. Orang berilmu tentu bersikap tenang dalam menghadapi berbagai persoalan. Inilah salah satu hal yang membedakan antara orang berlilmu dan orang tak berilmu. Terlebih dalam menghadapi murid-murid yang menjadi tanggung jawabnya dalam kependidikan, seorang guru hendaknya bersikap sabar dan tidak emosional.
- Keempat, tidak takabur dalam memerintah atau memanggil seseorang. Orang alim (guru) dituntut meneladani sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak mungkin. Hal ini sejalan dengan hadits yang menyatakan bahwa ulama adalah para pewaris Nabi. Rasulullah dikenal sangat tawadhu’ sehingga para alim atau ulama juga dituntut bertawadhu’ dalam semua hal termasuk dalam memerintah dan memanggil seseorang, misalnya murid.
- Kelima, bersikap lembut terhadap murid. Sangat tidak dianjurkan orang alim (guru) bersikap keras, apalagi kejam terhadap murid-muridnya sebab hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perilaku mereka. Sering kali murid tidak berani jujur dengan mengatakan apa adanya ketika guru sangat keras terhadap mereka yang bersalah. Akibatnya mereka memilih berbohong agar selamat dari kemarahan guru.
- Keenam, tidak membanggakan diri. Orang alim (guru) hendaknya tidak membanggakan diri atas semua prestasi yang diraihnya sebab hal ini bisa membawanya pada sikap ujub, yakni mengagumi diri sendiri yang ujung-ujungnya menimbulkan kesombongan. Allah sangat tidak menyukai hamba-hamba-Nya yang sombong, dan sebaliknya mengangkat derajat orang-orang yang senantiasa bertawadhu’.
- Ketujuh, mengajukan pertanyaan yang bisa dipahami orang yang lamban berpikirnya. Tingkat kesulitan pertanyaan yang diajukan kepada seorang murid, misalnya, harus disesauikan dengan tingkat kemampuan berpikir atau seberapa luas pengetahuannya. Tidak bijak memberikan pertanyaan yang sulit kepada murid-murid yang baru mulai belajar sebab hal ini bisa menimbulkan frustrasai dan tidak percara diri .
- Kedelapan, merendah dengan mengatakan, “Saya tidak tahu.” Ada kalanya guru tidak perlu menjawab suatu permasalahan apabila murid benar-benar tidak bermaksud bertanya tetapi hanya ingin mengujinya. Dalam situasi seperti ini lebih baik guru mengatakan ketidaktahuannya dengan tetap menunjukkan sikap tawadhu’nya, dan bukan dengan bersikap marah-marah.
- Kesembilan, bersedia menjawab secara ringkas (sederhana) pertanyaan yang diajukan penanya yang kemampuan berpikirnya masih terbatas. Seorang guru dituntut mengenali tingkat kemampuan berpikir murid-muridnya yang beragam sehingga penjelasan yang ditujukan kepada individu tertentu disesuaikan dengan tingkat kecerdasannya.
- Kesepuluh, menghindari sikap yang tak wajar. Seorang guru hendaknya selalu bersikap wajar terhadap murid-muridnya. Ia tidak perlu bersikap terlalu keras atau sebaliknya terlalu lembut. Sikap terlalu keras bisa membuat murid tidak kreatif, dan sebaliknya sikap terlalu lembut bisa membuat murid meremehkan perintah-perintah guru. Sikap terbaik adalah yang moderat, atau sesuai dengan situasi dan kondisi.
- Kesebelas, mendengar dan menerima argumentasi dari orang lain meskipun ia seorang lawan. Seorang guru hendaknya bersikap akomodatif terhadap argumetasi dari mana pun asalnya, termasuk dari orang yang tidak sependapat dengannya dengan cara mau mendengarkan dan mempertimbangkan untuk mengkaji kuat tidaknya argumentasi itu. Maksudnya seorang guru tidak boleh besikap apriori terhadap pendapat orang lain.
Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjdudul al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 431).