12 total views, 1 views today
PEMBAGIAN HUKUM AIR
Oleh Abu Rufaydah
Adapun air dilihat dari segi hukumnya terbagi menjadi empat bagian;
- Toohiru Mutahhirun Ghairu Makruh (suci mensucikan dan tidak makruh) atau disebut juga dengan air mutlak.
- Toohirun Muthohirun Makruh (suci mensucikan tapi makhruh) inilah yang disebut dengan air Musyammas yaitu air yang terkena sengatan matahari.
- Thoohir Ghairu Muthohhir (suci tapi tidak mensucikan) yaitu air Musta’mal yaitu air bekas dipakai.
- Najis (tidak suci tidak mensucikan).
Penjelasan:
- Toohiru Mutahhirun Ghairu Makruh (suci mensucikan dan tidak makruh) atau disebut juga dengan air mutlak.
Air Muthlaq yaitu air yang tetap pada asalnya sebegaimana awal diciptakan.[1] Sedangkan dalam kitab Kifayatul Akhyar Air Mutlaq yaitu air yang tidak disandarkan kepada air yang lain, seperti air mawar, air kapur atau yang sejenisnya. Inilah pendapat yang shahih dalam kitab Ar-Raudhoh dan al-Muharrar.[2] Ini biasa disebut pula air thohur (suci dan mensucikan). Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi asalnya. Air ini adalah setiap air yang keluar dari dalam bumi maupun turun dari langit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al Furqon: 48)
Yang juga termasuk air muthlaq adalah air sungai, air salju, embun, dan air sumur kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama dibiarkan atau karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air tersebut tidak disebut lagi air muthlaq.
Begitu pula yang termasuk air muthlaq adalah air laut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai air laut, beliau pun menjawab,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut tersebut thohur (suci lagi mensucikan), bahkan bangkainya pun halal.” [HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Irwa’ul Gholil no. 9).
2. Toohirun Muthohirun Makruh (suci mensucikan tapi makhruh digunakan)
Jenis Air yang kedua ini terbagi menjadi dua bagian, Pertama Suci tapi makruh digunakan dan Kedua Suci tapi tidak makruh.
Pertama Suci tapi makruh digunakan terbagi empat :
- Air yang tersinari Matahari.
- Air yang panas
- Air yang sangat dingin
- Air yang dibenci, seperti air yang tidak mengalir.
Air Musyamas (tersinari matahari) bisa digunakan jika terpenuhi beberapa syarat;
- Digunakan dinegara yang cuacanya panas.
- Bejana yang digunakan selain emas dan perak.
- Digunakan untuk orang yang masih hidup.
- Digunakan saat masih panas.
- Digunakan pada badan bukan pada pakaian.
- Tidak menyebabkan penyakit.
Adapun alasan air Musyammas makruh digunakan karenany menyebabkan penyakit kulit. Sebagaimana Imam asy-Syafii menukil pendapat dari Umar bin Khattab bahwa beliau memakruhkan menggunakan air musyammas karena menyebabkan penyakit kulit. [3] pendapat ini juga yang dipegang oleh Imam Ar-Rafi’i.
3. Tohir yaitu air suci tapi tidak mensucikan yaitu air al musta’mal (telah dipakai) dan tidak berubah sifatnya. Maka hukum air diperinci, jika air itu sedikit kurang dari dua kulla maka tidak menyucikan tidak boleh dipakai dalam mengangkat hadats atau menghilangkan. Namun jika banyak lebih dari dua kulla (500 liter Baghdad atau 217 liter masa kini) maka air itu tetap suci dan mensucikan jika tidak ada berubah dari bau, warna dan rasanya.
Air Musta’mal boleh digunakan jika;[4]
- Berubah dengan sesuatu yang suci maka tetap suci, tapi jika berubah dengan sesuatu yang najis maka menjadi Najis.
- Berubah karena bercampur dengan yang suci seperti air mawar. Maka bisa digunakan.
- Jika bercampur dengan air lain, seperti air kopi teh, dengan syarat campurannya sedikit, maka air itu suci dan mensucikan
Pendapat Imam asy-Syafi’I rahimahullah
قال الإمام الشافعي رحمه الله :لا بأس أن يتوضأ ويغتسل بفضل الجنب والحائض ; لأن النبي صلى الله عليه وسلم إذا اغتسل وعائشة من إناء واحد فقد اغتسل كل واحد منهما بفضل صاحبه” انتهى .“الأم” (8/98)
“Tidak apa-apa untu berwudhu dan mandi bekas air orang yang junub atau wanita haid, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mandi dengan Aisyah dalam satu wadah, masing-masing mandi bekas mandi yang lainnya.[5]
Beberapa hadits yang menjelaskan air musta’mal boleh digunakan, diantaranya;
Pertama: Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap.[6]
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta’mal adalah air yang suci.”[7]
Kedua: Dari Miswar, ia mengatakan,
وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu belia.[8]
Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas digunakan kembali untuk bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air musta’mal itu najis, lantas kenapa digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits-hadits ini adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap bahwa air musta’mal itu najis. Bagaimana mungkin air najis digunakan untuk diambil berkahnya?” [9]
Ketiga: Dari Ar Rubayyi’, ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”[10]
Keempat: Dari Jabir, beliau mengatakan,
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى ، وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ، فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.”[11]
Kelima: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.”[12]
Keenam: Dari Ibnu ‘Abbas, ia menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah.”[13]
Imam an-Nawawi rahimahullah memaparkan dalam kitab Al-Majmu’[14] dengan tiga jawaban;
- Hadits Hakam ibn Amru hukumnya dho’if. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Baehaqi.
- Tidak adanya larangan dari ulama menggunakan bekas wuhdu atau mandi orang lain.
- Larangan Tanziyah (makruh) bukan haram.
4. Air Najis, yaitu air yang tercampur dengan barang najis sedangkan air tersebut kurang dari dua kullah (Qullatain), atau dua kullah akan tetapi telah berubah (bau warna dan rasanya).
Air yang sedikit lalu terkena najis maka hukumnya najis walaupun bau, warna dan sifatnya tidak berubah.[15]
Air dua qullah yaitu air seukuran 500 rothl baghdady yang seukuran 90 mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah sama dengan 93,75 sho’ [16]. Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg. Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5 kg; berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1 m x 0,2 m.
Adapun hadits mengenai air dua qullah adalah sebagai berikut.
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)
Dalam riwayat lain disebutkan,
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah dan Ad Darimi)
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa air yang kurang dari dua kullah jika terkena najis maka hukumnya menjadi najis, walaupun tidak berubah sifatnya.
Dengan demikian air yang sedikit (kurang dua kullah) jika terkena najis maka menjadi najis. Sedangkan air yang banyak jika terkena najis, namun tidak merubah sifat bau, warna dan rasanya maka tidak najis. Jika berubah di antara tiga sifat di atas maka menjadi najis.[17]
Masalah ;[18]
- Jika ada air banyak lebih dari dua Qullah kemudian terkena najis, lalu kita ragu, apakah air itu berubah atau tidak sifatnya, maka hukum air tersebut kembali kepada hukum asal yaitu suci.
- Jika ada air banyak kemudian berubah sifatnya, lalu kita ragu, apakah berubahnya karena terkena yang najis atau suci, maka hukum air ini suci. Karena asalnya suci.
- Jika ada air banyak, lalu terkena najis dan berubah sifatnya, maka hukum air ini najis.
- Air yang terkena najis namun dimaafkan karena sulit dihindari seperti bangkai binatang atau serangga yang tidak mengalir darahnya seperti lalat yng hinggap di tempat yang najis, lalu masuk ke air yang suci, maka air itu tetap suci dan menyucikan. Dengan dau syarat, pertama jatuh bukan dengan sendirinya atau kedua air tersebut tidak berubah.
Cara membersihkan air yang terkena najis;
- Suci dengan sendirinya dengan hilang bau, rasa dan warnanya.
- Dengan menumpahkan air ke dalam air yang terkena najis.
- Dengan mengurangi air yang terkena najis, dengan syarat yang dikurang tidak kurang dari dua qullah.
Cianjur, 8 Dzul Qo’dah 1439 H
[1] Mustafa Khan, Musthafa Bugha, Ali Syiryahi, Fiqh Manhaji, Damaskus; Darul Qolam, 1436, Jilid I, hlm. 31.
[2] Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad al-Husaeni al-Hushni Asy-Syafi’I, Kifayatul Akhyar, Bairut: Darul Khair, 1426, Jilid I, hlm. 16).
[3] Fiqh Manhaji, hlm. 32.
[4] At-Taqriraat As-Sadidah fi Masa’il al-Mufiidah, hlm. 59-60.
[5] Kitab al-Umm, jilid 8/98.
[6] HR. Bukhari no. 187.
[7] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/295, Darul Ma’rifah, Beirut
[8] HR. Bukhari no. 189.
[9] Fathul Bari, 1/296.
[10] HR. Abu Daud no. 130. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[11] HR. Bukhari no. 194.
[12] HR. Bukhari no. 193.
[13] HR. Muslim no. 323.
[14] Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, jilid. 2/221
[15] Kifayatul Akhyar, hlm. 20.
[16] Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/116.
[17] At-Taqriratus Sadidah fi Masail al-Mufiidah, hlm. 62.
[18] At-Taqriratus Sadidah fi Masail al-Mufiidah, hlm. 63-64.
About the author
Endang Hermawan
Abu Rufaydah Endang Hermawan, Lc. MA. Beliau Lahir di Cianjur tahun 1989 Pendidikan Formal 1. SDN Citamiyang 2. SMP T dan SMA T di PONPES Al-Ma’shum Mardiyah 3. S1 Pendidikan Agama Islam di STAINDO 4. S1 Syari’ah di LIPIA JAKARTA 5. S2 Tafsir al-Qur’an PTIQ Jakarta Saat ini membina Yayasan Ibnu Unib untuk pembangunan Masjid dan Sumur dan Ketua Yayasan Cahaya Kalimah Thoyyibah bergerak di Pendidikan, Sosial dan Dakwah
Related Post
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
VIDEO SINGKAT
DONASI DAKWAH CIANJUR

Leave a comment
You must be logged in to post a comment.