10 total views, 1 views today
HADITS SYUBUHAT
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَان بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الَحرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَّ وِإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ – رَوَاهُ البُخَارِي وَمُسْلِمٌ
Dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat–yang masih samar–yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599]
Imam Ibnu Daqiq al-Ied rahimahullah berkata : Hadits ini adalah hadits yang sangat agung dan pokok syari’at. Abu Daud as-Sijistani rahimahullah berkata : Islam terdiri dari empat hadits, salah satunya hadits ini. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata bahwa pokok ajaran islam terdiri dari tiga hadits yaitu hadits Umar tentang Niat, hadits Aisyah tentang bid’ah, dan hadits Nu’man yang kita akan bahas. (Jaami’ Ulum wal Hikam, hal. 31).
Dalam hadits ini ada tiga pembahasan penting yang harus kita ketahui pertama hahal, kedua haram, ketiga Syubhat. Abu Hanifah berkata bahwa yang dimaksud dengan halal yaitu jika ada dalil yang menunjukkan kehalalannya. Sedangkan haram menurut Imam Asy-Syafii adalah jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Adapun Syubuhat yaitu sesuatu yang samar yang berlum jelas keharaman dan kehalalannya, dan ditinggalkan bagian dari sifat wara’ (ad-Durratu as-Salafiyyah Syarah Arbain an-Nawawiyyah, hal. 80).
FAIDAH HADITS;
- Hukum terbagi menjadi tiga yaitu (1) halal, (2) haram, dan (3) syubhat.
- Yang halal murni seperti hasil cocok tanam, buah-buahan, hewan ternak, minuman yang baik, demikian juga pakaian seperti bahan dari katun dan linen, wol dan bulu dan sebagainya.
- Yang haram murni seperti memakan bangkai, minum khomr, menggunakan pakaian sutra.
- Sedangkan yang syubuhat seperti makanan yang diperselisihkan tentang kelhalalan atau keharamannya, baik secara sendiri seperti kuda, bighol, demikian juga minuman jika diminum dengan jumlah banyak menyebabkan mabuk. Adapun pakaian seperti mengenakan dari bahan kulit binatang buas.
- Meinggalkan perkara yang syubuhat jauh lebih utama selama masih samar, jika sudah jelas kehalalannya maka lakukan dan jika sudah jelas keharamannya maka tinggalkan.
- Ada dua manfaat bagi seseorang yang meninggalkan perkara syubuhat yaitu selamatnya agama dan kehormatannya dari terjatuhnya pada perkara yang haram.
- Mendekati perkara syubuhat adalah salah satu perkara yang dapat menjatuhkan seseorang pada keharaman.
- Diantara metodelogi Pendidikan Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam adalah dengan memberikan perumpaan yang mudah untuk dipahami dan diamalkan.
- Orang yang memjadi penyebab rusaknya barang seseorang maka dia yang berhak untuk mengganti.
- Setiap raja memiliki aturan dan batasan dalam lingkungan kerajaannya yang patut untuk ditaati, demikian juga aturan Allah wajib kita laksanakan,
- Wajib menjauhi perkara yang haram.
- Sedangkan masalah (problem) dibagi menjadi empat macam:
- Yang memiliki dalil bolehnya, maka boleh diamalkan dalil bolehnya.
- Yang memiliki dalil pengharaman, maka dijauhi demi mengamalkan dalil larangan.
- Yang terdapat dalil boleh dan haramnya sekaligus. Maka inilah masalah mutasyabih(yang masih samar). Menurut mayoritas ulama, yang dimenangkan adalah pengharamannya.
- Yang tidak terdapat dalil boleh, juga tidak terdapat dalil larangan, maka ini kembali ke kaedah hukum asal. Hukum asal ibadah adalah haram. Sedangkan dalam masalah adat dan muamalah adalah halal dan boleh. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtasharkarya Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri, hlm. 64)
- Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizahullahmengatakan, “Perkara yang syubhat (samar) itu muncul karena beberapa sebab, bisa jadi karena kebodohan, atau tidak adanya penelusuran lebih jauh mengenai dalil syar’i, begitu pula bisa jadi karena tidak mau merujuk pada perkataan ulama yang kokoh ilmunya.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 63)
- Ibnu Daqiq Al-‘Ied mengatakan bahwa orang yang terjerumus dalam syubhat bisa terjatuh pada yang haram dilihat dari dua sisi: (1) barangsiapa yang tidak bertakwa pada Allah lalu ia mudah-mudahan memilih suatu yang masih syubhat (samar), itu bisa mengantarkannya pada yang haram, (2) kebanyakan orang yang terjatuh dalam syubhat, gelaplah hatinya karena hilang dari dirinya cahaya ilmu dan cahaya sifat wara’, jadinya ia terjatuh dalam keharaman dalam keadaan ia tidak tahu. Bisa jadi ia berdosa karena sikapnya yang selalu meremehkan. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, penjelasan Ibnu Daqiq Al ‘Ied, hlm. 49.
- Jika perkaranya syubhat (samar), maka sepatutnya ditinggalkan. Karena jika seandainya kenyataan bahwa perkara tersebut itu haram, maka ia berarti telah berlepas diri. Jika ternyata halal, maka ia telah diberi ganjaran karena meninggalkannya untuk maksud semacam itu. Karena asalnya, perkara tersebut ada sisi bahaya dan sisi bolehnya.” (Fath Al-Bari, 4:291)
- Para ulama katakan bahwa hati adalah malikul a’dhoo(rajanya anggota badan), sedangkan anggota badan adalah junuduhu (tentaranya). Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:210.
- Para ulama mengungkapkan baiknya hati dengan istilah yang berbeda sebagai berikut:
- Yang dimaksud baiknya hati adalah rasa takut kepada Allah dan siksa-Nya.
- Yang dimaksud adalah niat yang ikhlas karena Allah, ia tidak melangkahkan dirinya dalam ibadah melainkan dengan niat taqorrub kepada Allah, dan ia tidak meninggalkan maksiat melainkan untuk mencari ridha Allah.
- Yang dimaksud adalah rasa cinta kepada Allah, juga cinta pada wali Allah dan mencintai ketaatan.
18. Rusaknya hati adalah dengan terjerumus pada perkara syubhat, terjatuh dalam maksiat dengan memakan yang haram. Bahkan seluruh maksiat bisa merusak hati, seperti dengan memandang yang haram, mendengar yang haram. Jika seseorang melihat sesuatu yang haram, maka rusaklah hatinya. Jika seseorang mendengar yang haram seperti mendengar nyanyian dan alat musik, maka rusaklah hatinya. Hendaklah kita melakukan sebab supaya baik hati kita. Namun baiknya hati tetap di tangan Allah. Lihat Al-Minhah Ar-Rabbaniyah fii Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 110.
Semoga Allah terus memberikan ketakwaan kepada kita.
Referensi:
- Rumasyho.com
- ad-Durratu as-Salafiyyah Syarah Arbain an-Nawawiyyah
- al-Fawaid al-Mustanbithoh min al-Arbain an-Nawawiyyah, Penerbit Darul at-Tauhid.
- Al-Minhah Ar-Rabbaniyah fii Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan pertama, Tahun 1429 H. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan. Penerbit Darul ‘Ashimah,
- Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.
- Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
- Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah fi Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyah. Cetakan kedelapan, Tahun 1423 H. Al-Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
- Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kunuz Isybiliya.
About the author
Endang Hermawan
Abu Rufaydah Endang Hermawan, Lc. MA. Beliau Lahir di Cianjur tahun 1989 Pendidikan Formal 1. SDN Citamiyang 2. SMP T dan SMA T di PONPES Al-Ma’shum Mardiyah 3. S1 Pendidikan Agama Islam di STAINDO 4. S1 Syari’ah di LIPIA JAKARTA 5. S2 Tafsir al-Qur’an PTIQ Jakarta Saat ini membina Yayasan Ibnu Unib untuk pembangunan Masjid dan Sumur dan Ketua Yayasan Cahaya Kalimah Thoyyibah bergerak di Pendidikan, Sosial dan Dakwah
Related Post
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
VIDEO SINGKAT
DONASI DAKWAH CIANJUR

Leave a comment
You must be logged in to post a comment.