![]()
MENGAMALKAN BERITA MASUK BULAN RAMDAHAN DENGAN SATU ORANG SAKSI
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim.
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ إِرْسَالَهُ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kembali bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” Diriwayatkan oleh yang lima, yaitu Abu Daud, An Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkannya, namun An Nasai lebih cenderung pada pendapat bahwa riwayat tersebut mursal.
FAIDAH HADITS:
- Hadits ini merupakan dalil cukup adanya satu saksi dalam melihat hilal Ramadhan, baik saksinya adalah laki-laki maupun perempuan. Dengan syarat saksi tersebut adalah muslim. Hal ini berbeda dengan bulan selain Ramadhan yang mesti dengan dua saksi. Inilah pendapat ‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnul Mubarok, pendapat masyhur dari Imam Ahmad dan menjadi pendapat yang dipilih Imam Syafi’i. (Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom dan Taudhihul Ahkam, II/516, Ithaf al-Kiraam, 193).
- Orang yang melihat hilal adalah yang sudah baligh dan berakal. Demikian juga dengan Abdullah bin Umar dan orang badui ketika melihat hilal sudah dalam keadaan baligh. (Taudhihul Ahkam, II/516).
- Yang menyaksikan hilal adalah orang islam dan terpercaya. Karena hukum asal seorang msulim adalah terpercaya atau adil. (Subulus Salam, hlm 631).
- Dianjurkan untuk melihat hilal pada malam ke-30 dari bulan Sya’ban karena hal itu termsauk syi’ar yang sangat penting. (Taudhihul Ahkam, II/516).
- Siapa saja yang melihat hilal hendaklah ia melaporkan hasil penglihatannya pada imam atau penguasa atau pada pemerintah supaya penguasa tersebut yang mengumumkannya kepada khalayak ramai (kaum muslimin). Sehingga pengumuman awal atau akhir Ramadhan, kita dapat ambil pelajaran bukanlah urusan satu ormas, namun jadi wewenang penguasa.
- Pemerintah wajib mengimformasikan waktu puasa atau berhari raya. (Taudhihul Ahkam, II/516).
- Masuk bulan ramdhan cukup dengan satu saksi sedangkan masuknya bulan syawal dengan dua saksi.
- Jika ada yang melihat hilal Ramadhan lantas persaksiannya ditolak, apa yang mesti dilakukan?
Pendapat pertama, Mayoritas ulama berpendapat bahwa hendaklah ia tetap berpuasa. Karena ada hadits dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا – ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِى الثَّالِثَةِ – فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِىَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلاَثِينَ
“Bulan adalah seperti ini, seperti ini, seperti ini -lalu beliau menggenggam ibu jarinya pada ucapan yang ketiga-, berpuasalah karena melihat hilal dan berhari rayalah karena melihat hilal. Jika kalian tertutupi, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Muslim no. 1080).
Pendapat kedua, Diipilih oleh Ibnu Taimiyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad bahwa orang seperti itu tidaklah wajib puasa. Karena hilal yang teranggap jika telah masyhur, tidak cukup hanya dilihat.
Yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat terakhir karena lebih mementingkan persatuan kaum muslimin, ditambah penguatan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697, dari Abu Hurairah).
- Puasa mengikuti pemerintah setempat. Karena hal itu menunjukkan persatuan.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Beliau juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”. (Majmu’ Al Fatawa, 25: 117)
Disusun oleh Ust. Abu Rufaydah Endang Hermawan
Baca juga tulisan APAKAH PENENTUAN RAMADHAN DENGAN HISAB ATAU RU’YAH
Referensi:
- Bulughul Maram
- Ithaf al-Kiram karya Syaikh Shofiyurrahman al-Mubarakfury
- Taudhihul Ahkam min Syarh Bulugil Maram karya Syaikh Abdullah al-Bassam
- Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan
- Subulus Salam karya Imam Muhammad bin Ismail Ashonhani
- Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyyah