7 total views, 2 views today
MAKNA DUA KALIMAT SYAHADAT
Oleh Abu Rufaydah Endang Hermawan
Baru-baru ini marganet dihebohkan oleh oknum BANSER yang membakar bendera yang bertuliskan dua kalimat syahadat, penulis tidak tahu apa tujuan dari pembakaran bendera tersebut, yang menyebabkan warganet kecewa dan murka. Namun dipembahasan kali ini kita tidak akan membahas hukum membakar bendera, tapi kita ingin belajar dari dasar dua kalimat tauhid di atas.
- Makna Laa Ilaha Illallah
Makna kalimat Laa Ilaha Illallah yaitu “Tidak ada sesembahan yang berhak di ibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah), dan kesalahan tersebut telah menyebar luas. Di antara kesalahan tersebut adalah:[1]
- Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ مَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada yang diibadahi kecuali Allah), padahal makna tersebut rancu karena jika demikian, maka setiap yang diibadahi, baik benar maupun salah, berarti Allah.
- Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ خَالِقَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta kecuali Allah), padahal makna tersebut merupakan sebagian dari makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dan ini masih berupa Tauhid Rububiyyah saja, sehingga belum cukup. Inilah yang diyakini juga oleh orang-orang musyrik.
- Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ حَاكِمِيَّةَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada hakim (penguasa) kecuali Allah), pengertian ini pun tidak mencukupi karena apabila mengesakan Allah hanya dengan pengakuan atas sifat Allah Yang Maha Penguasa saja namun masih berdo’a kepada selain-Nya atau menyelewengkan tujuan ibadah kepada sesuatu selain-Nya, maka hal ini belum termasuk definisi yang benar.
- Rukun Kalimat Laa Ilaha Illallah
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu:
(a). النَّفْيُ, yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(b). اْلإِثْبَاتُ, yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.
Kedua rukun ini harus terpenuhi keduanya, jika tidak maka akan keliru memaknai kalimat tauhid, jika ia meniadakan semua sesembahan termasuk Allah, maka dia jatuh kepada pemahaman atheis dan jika dia menetapkan semua sesembahan, maka dia jatuh kepada pemahaman liberalis.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“… Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang sangat kokoh dan tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 256]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu, maka di antara ummat itu ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul).” [An-Nahl: 36]
- Makna Kalimat مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (Muhammad Rasulullah) [12]
Artinya Nabi Muhammad adalah utusan Allah, maknannya mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: menta’ati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah, Allah kecuali dengan apa yang disyari’atkan.
- Rukun Syahadat “Muhammad Rasulullah”
Syahadat ini juga mempunyai dua rukun, yaitu kalimat “‘abduhu wa rasuluh ” hamba dan utusanNya). Dua rukun ini menafikan ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) pada hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah hamba dan rasul-Nya. Beliau adalah makhluk yang paling sempurna dalam dua sifat yang mulia ini, di sini artinya hamba yang menyembah. Maksudnya, beliau adalah manusia yang diciptakan dari bahan yang sama dengan bahan ciptaan manusia lainnya. Juga berlaku atasnya apa yang berlaku atas orang lain.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Artinya : Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, …’.” [Al-Kahfi : 110]
Beliau hanya memberikan hak ubudiyah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memujinya:
“Artinya : Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya.” [Az-Zumar: 36]
“Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) …”[Al-Kahfi: 1]
“Artinya : Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram …” [Al-Isra’: 1]
Sedangkan rasul artinya, orang yang diutus kepada seluruh manusia dengan misi dakwah kepada Allah sebagai basyir (pemberi kabar gembira) dan nadzir (pemberi peringatan). Persaksian untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua sifat ini meniadakan ifrath dan tafrith pada hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena banyak orang yang mengaku umatnya lalu melebihkan haknya atau mengkultuskannya hingga mengangkatnya di atas martabat sebagai hamba hingga kepada martabat ibadah (penyembahan) untuknya selain dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada beliau, dari selain Allah.
Juga meminta kepada beliau apa yang tidak sanggup melakukannya selain Allah, seperti memenuhi hajat dan menghilangkan kesulitan. Tetapi di pihak lain sebagian orang mengingkari kerasulannya atau mengurangi haknya, sehingga ia bergantung kepada pendapat-pendapat yang menyalahi ajarannya, serta memaksakan diri dalam mena’wilkan hadits-hadits dan hukum-hukumnya.
Referensi :
- Syarah Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah karya Ust. Yazid bin Abdil Qodir Jawwas.
- At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
About the author
Endang Hermawan
Abu Rufaydah Endang Hermawan, Lc. MA. Beliau Lahir di Cianjur tahun 1989 Pendidikan Formal 1. SDN Citamiyang 2. SMP T dan SMA T di PONPES Al-Ma’shum Mardiyah 3. S1 Pendidikan Agama Islam di STAINDO 4. S1 Syari’ah di LIPIA JAKARTA 5. S2 Tafsir al-Qur’an PTIQ Jakarta Saat ini membina Yayasan Ibnu Unib untuk pembangunan Masjid dan Sumur dan Ketua Yayasan Cahaya Kalimah Thoyyibah bergerak di Pendidikan, Sosial dan Dakwah
Related Post
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.