KETIKA AKU MENEMUKANNYA

Loading

KETIKA AKU MENEMUKANNYA

Oleh Abu Rufaydah

 

Keluarga adalah salah satu benteng akidah islam. Oleh karena itu, benteng tersebut harus kuat luar dan dalamnya. Setiap anggota keluarga harus berdiri siap siaga di posnya masing-masing. Sebab kalau tidak demikian, akan mudah bagi pasukan musuh untuk menerobos masuk ke dalam benteng, sehingga tidaklah sulit bagi mereka untuk menghancurkan dan menguasainya. Hal ini dimulai sejak memperbaiki diri sendiri, kemudian dengan mencari pendamping.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda :

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاك

 “Wanita bisanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, parasnya dan agamanya. Maka hendaknya kamu pilih wanita yang bagus agamanya. Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan rugi.” (HR. Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466).

Hadits diatas ditunjukan kepada setiap pria yang hendak menikahi wanita. Hendaknya untuk mengutamakan agamanya. Karena siapapun mendambakan istri yang cantik, kaya dan memiliki kedudukan, namun apalah artinya jika ia tidak memiliki agama yang baik. Dengan demikian maka ilmu agama menjadi poin penting yang harus menjadi perhatian dalam memilik istri.

Al-Mawardi Rahimahullah menganggap bahwa memilih istri yang baik merupakan hak anak atas bapaknya. Hal ini beliau kutip dari pernyataan Umar ibn Khathab Radhiallahu Anhu, ‘Hak yang pertama untuk anak adalah dipilihkan baginya seorang ibu sebelum dia dilahirkan; yang cantik, mulia, taat beragama, terhormat, cerdas, berakhlak terpuji, teruji kecerdasannya dan kepatuhannya kepada suami”. (Wahb Sulaiman al-Ghawiji, al-Mar’ah al-Muslimah, hal. 153)

Cara sederhana untuk melihat seorang wanita itu baik atau tidak, maka lihatlah dia dari keluarga atau lingkungan mana ia dilahirkan. Rasulullah bersabda:

إِيَّاكُمْ وَخَضْرَاءَ الدِّمَنِ، قَالُوا : وَمَا حَضْرَاءُ الدِّمَنِ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : الْمَرْأَةٌ الحَسْنَاءُ فِي المَنْبَتِ السُّوءِ

“Jauhilah yang hijau ditempat yang kotor!”. Lalu dikatakan: “Apa yang dimaksud dengan hijau di tempat yang kotor” ? Beliau menjawab: “Wanita cantik hidup di lingkungan yang buruk.” (HR. ad-Daruqutni, ar-Ramahurmizi dan al-Askari, Syaikh al-Albani berkata hadits diatas derajatnya lemah sekali di dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah).

“Khadhra’ (Hijau) maksudnya adalah segar, menyejukan. Hijau bagi wanita lambang kecantikan, keindahan dan mempesona. Tapi cantik belum tentu baik. “Ad-Diman” artinya tempat kotoran unta, kambing dan binatang lainnya. Jadi wanita cantik namun tidak baik agamanya maka tidak layak untuk dijadikan istri.

Keluarga berkaitan dengan “Hasab atau Nasab”. Hasab adalah kemulian atau karya besar yang dihasilkan karena bapak dan keluarganya. Sedangkan Nasab adalah silsilah keturunan. Keduanya sangat penting untuk menilai secara sederhana calon pendamping kita. Wallahu A’lam

Berkaitan dengan memilih seorang istri, penulis ingin menyajikan sebuah kisah yang dengannya kita dapat mengambil faidah dan pelajaran.

Yahya bin Yahya an Naisaburi Rahimahullah mengatakan bahwa beliau berada di dekat Sufyan bin Uyainah Rahimahullah ketika ada seorang yang menemui Ibnu Uyainah lantas berkata, “Wahai Abu Muhammad, aku datang ke sini dengan tujuan mengadukan fulanah -yaitu istrinya sendiri-. Aku adalah orang yang hina di hadapannya”. Beberapa saat lamanya, Ibnu Uyainah menundukkan kepalanya. Ketika beliau telah menegakkan kepalanya, beliau berkata, “Mungkin, dulu engkau menikahinya karena ingin meningkatkan martabat dan kehormatan?”. “Benar, wahai Abu Muhammad”, tegas orang tersebut. Ibnu Uyainah berkata, “Siapa yang menikah karena menginginkan kehormatan maka dia akan hina. Siapa yang menikah karena cari harta maka dia akan menjadi miskin. Namun siapa yang menikah karena agamanya maka akan Allah kumpulkan untuknya harta dan kehormatan di samping agama”.

Kemudian beliau mulai bercerita, “Kami adalah empat laki-laki bersaudara, Muhammad, Imron, Ibrahim dan aku sendiri. Muhammad adalah kakak yang paling sulung sedangkan Imron adalah bungsu. Sedangkan aku adalah tengah-tengah. Ketika Muhammad hendak menikah, dia berorientasi pada kehormatan. Dia menikah dengan perempuan yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada dirinya. Pada akhirnya dia jadi orang yang hina. Sedangkan Imron ketika menikah berorientasi pada harta. Karenanya dia menikah dengan perempuan yang hartanya lebih banyak dibandingkan dirinya. Ternyata, pada akhirnya dia menjadi orang miskin. Keluarga istrinya merebut semua harta yang dia miliki tanpa menyisakan untuknya sedikitpun. Maka aku penasaran, ingin menyelidiki sebab terjadinya dua hal ini.

Tak disangka suatu hari Ma’mar bin Rasyid datang. Kau lantas bermusyawarah dengannya. Kuceritakan kepadanya kasus yang dialami oleh kedua saudaraku. Ma’mar lantas menyampaikan hadits dari Yahya bin Ja’dah dan hadits Aisyah. Hadits dari Yahya bin ja’dah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR Bukhari dan Muslim). Sedangkan hadits dari Aisyah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perempuan yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan biaya pernikahannya” (HR Ahmad no 25162, menurut Syeikh Syu’aib al Arnauth, sanadnya lemah).

فاخترت لنفسي الدين وتخفيف الظهر اقتداء بسنة رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فجمع الله لي العز والمال مع الدين

Oleh karena itu kuputuskan untuk menikah karena faktor agama dan agar beban lebih ringan karena ingin mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di luar dugaan Allah kumpulkan untukku kehormatan dan harta di samping agama. (Tahdzib al Kamal 11/194-195, Maktabah Syamilah).

Namun tidaklah masalah memilih wanita dilihat dari kecantikannya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Qudamah berikut ini,

“Memilih wanita yang berparas cantik itu lebih menenangkan hati, mata jadi tidak melirik ke wanita lain, juga semakin menyempurnakan kasih sayang. Oleh karenanya, dalam Islam disyari’atkan memandangi wanita yang ingin dinikahi.” (Al Mughni, 9: 511).

Bahkan kecantikan lebih dulu ditanyakan sebelum menimbang-nimbang dari agama si wanita.

Imam Ahmad berkata, “Jika seseorang ingin melamar seorang wanita, hendaknya yang pertama kali ia tanyakan adalah kecantikannya. Jika wanita itu menurutnya cantik, lalu ia tanyakan tentang agamanya. Jika kecantikannya kurang, maka ia tentu menolak wanita tersebut bukan karena agamanya namun karena kecantikannya.” (Syarh Muntaha Al Irodaat, 2: 623).

Jadi, memilih wanita cantik bukanlah suatu aib. Karena dari kecantikanlah yang membuat seseorang lebih mantap memilih pasangan. Namun tentu prioritas utamanya tetaplah yang baik agama dan akhlaknya.

Hadits kedua yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmizi, Rasulullah bersabda :

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَانْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ.

Jika datang kepada kalian (orang tua wanita) seorang laki-laki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (putrimu). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar. (HR. at Tirmizi. Syaikh al-Albani mengatakan hadits ini hasan lighairihi).

Kerusakan yang besar yaitu jika kalian tidak menikahkan putrinya kecuali hanya kepada yang memiliki harta dan kehormatan, akan banyak wanita menjanda dan lelaki menduda. Muncullah banyak fitnah zina. Dan berikutnya para orangtua menanggung aib dan munyebarlah fitnah dan kerusakan, yang berdampak pemutusan nasab, krisis kebaikan dan penjagaan diri (Al-Mubaarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi)

Hadist di atas ditujukan kepada setiap orang tua yang hendak menikahkan putrinya. Pilihlah pria yang baik agama dan akhlaknya. Memilih agamanya saja tidak cukup, karena berapa banyak pria yang baik agamanya namun tidak baik akhlaknya, juga sebaiknya, berapa banyak lelaki yang baik akhlaknya namun tidak beragama dengan baik. Maka sebaik-baiknya lelaki adalah yang terkumpul didalamnya dua keindahan, keindahan akhlak dan keindahan agamanya.

Dengan menikahkan wanita kepada pria yang baik agama dan akhlaknya, maka dengan akhlaknya ia akan memperlakukan istrinya dengan baik. Adapun baik agamanya maka ia akan memuliakan istrinya. Suatu saat, seseorang pertanya kepada Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah: kepada siapa saya nikahkan putriku ? al-Hasan menjawab : Kepada orang yang bertakwa kepada Allah. Jika ia mencintainya, ia akan memuliakannya. Jika ia membencinya, ia tidak akan menzaliminya.

Al-Fudhail ibn Iyadh  (wafat 187 H) Rahimahullah berkata : Malik ibn Dinar (Wafat 127 H) Rahimahullah melihat seorang lelaki yang jelek shalatnya, lalu ia berkata : “Aku sangat kasihan kepada keluarganya”. Lalu ditanyakan kepadanya : “Lelaki ini jelek shalatnya dan engkau kasihan terhadap keluarganya.” Lalu beliau menjawab : “Sesungguhnya dia pemimpin dikeluargaya, dan keluarganya darinya belajar”. (Hilyatul Aulia 2/383).

Wahai para wanita pandai-pandailah memilih calan pendampingmu. Seperti kepandaian Khadijah dalam mengungkapkan keinginan hatinya kepada Nabi Muhammad untuk dijadikan suaminya. Tanpa harus merendahkan harga diri dihadapan lelaki, tapi dengan cara yang dengannya engkau dimuliakan.

Leave a Comment