Dr. Muhammad az-Zahrani dalam kitabnya Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah
beliau memberikan judul bab Taarikh Nasy’ah Rihlati fii Thalibil Ilm. Di mana beliau
menukil beberapa atsar dari para ulama tentang kegigihan dan semangat mereka dalam
menuntut ilmu.
Beliau mengatakan, “Sumber utamanya adalah perjalanan Nabi Allah dan Kalim-
Nya, Musa Alaihis Salam untuk menemui Khidhir. Allah telah mengisahkannya kepada
kita dalam surat Al-Kahfi.”
Perjalanan dalam rangka mencari ilmu pada zaman Islam dimulai dengan
perjalanan utusan-utusan dari berbagai kabilah Arab untuk membai’at Rasulullah
shalallahu Alaihi Wasallam dari berbagai penjuru jazirah Arab, dan selanjutnya menjadi
penuntut ilmu-ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kemudiam para sahabat memperhatikan hal ini setelah Rasulullah shalallahu
Alaihi Wasallam wafat ketika para sahabat telah bertebaran di berbagai kota setelah
futuhat (pembukaan wilayah pada masa Khulafa Rayidin) islam. Maka Jabir ibn Abdillah
radhiallahu Anhu berangkat menemui Abdullah ibn Unais radhiallahu Anhu di wilayah
Syam yang memakan perjalanan sebulan, demi mendengarkan sebuah hadits yang mana
hanya Abdullah ibn Unaislah satu-satunya yang menghafal riwayat tersebut. (al-
Khathabi, Kita bar-Rihlah, hal. 109-118)
Abu Ayyub al-Anshari berangkat menemui Uqbah ibn Amir radhiallahu Anhuma
di Mesir. Maka ketika bertemu, ia berkata, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang telah
kamu dengar dari Rasulullah shalallahu Alaihi Wasallam tentang menutup aib seorang
muslim, yang mana hanya kamu dan saya yang telah mendengarkannya.” Ketika Uqbah
telah (selesai) menceritakannya, maka Abu Ayyub kembali menunggangi kendaraannya
untuk pulang ke Madinah. (Ibnu Abdil Barr, Jami Bayaan al-Ilmi wa Fadhlih, 1/93-94).
Perjalanan menuntut ilmu dilanjutkan oleh generasi setelahnya Tabi’in, di mana
para sahabat telah bertebaran di berbagai penjuru kota – setelah futuhat islam- membawa
warisan kenabian. Mereka tidak bisa dengan mudah mengetahui hadits Nabi dengan
lengkap tanpa melakukan perjalanan ke penjuru dunia demi menemui para sahabat yang
telah terpencar di dalamnya.
Sa’id ibn Musayyab rahimahullah, salah seorang pembesar Tabi’in berkata,
“Sesungguhnya saya dahulu berangkat ke salah satu kota dari kota-kota islam haya untuk
mendengarkan satu hadits”. Amir asy-Sya’binberkata, “Tidak ada murid Abdullah ibn
Mas’ud radhiallahu Anhu yang paling antusias mencari ilmu di segala penjuru dunia
daripada Masruq. (Ibnu Abdil Barr, Jami Bayaan al-Ilmi wa Fadhlih, 1/93-94).
Asy-Sya’bi pada suatu saat menyampaikan sebuah hadits kepada seseorang,
kemudia dia berkata kepadanya, “Kami telah memberimu sebuah hadist (dengan sanad
tinggi), tanpa (kamu harus) bersusah payah, padahal dahulu orang melakukan perjalanan
jauh ke Madinah demi mendapatkan sebuah riwayat yang sanadnya lebih rendah darinya.
(Ibnu Abdil Barr, Jami Bayaan al-Ilmi wa Fadhlih, 1/93-94).
Dari Abu al-Aliyah ar-Riyahi rahimahullah berkata, “Kami pernah mendengar
sebuah riwayat dari sahabat-sahabat Rasulullah di Bashrah, lalu kami tidak puas dengan
riwayat tersebut, hingga kami berangkat ke Madinah untuk mendengar langsung dari
mulut para sahabat Rasulullah. (Abu Muhammad ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi bab ar-
Rihlah fi Thalab al-Ilmi, 1/144 no. 570). Selesai
Apa yang akan Asy-Sya’bi rahimahullah katakana, jika beliau mendapati zaman
seperti kita saat ini. Ketika hadits dengan mudah kita akses kapan pun dan dimana pun.
Dengan mudah para ahli internt meng-capypaste semua ilmu yang ia kehendaki. Tapi
sayang kemampuan ilmu dan kedudukan kita tidak sebanding dengan mereka. Mereka
mendapatkan manfaat dan keberkahan dalam menuntut ilmu, disebabkan keikhlasan,
kesungguhan dan usaha yang mereka tempuh. Sehingga Allah meninggikan derajat
mereka diatas yang lainnya. Wallahu A’lam
Abu Rufaydah Endang Hermawan, Lc. S. Pd. I
Related Post
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.