2 PONDASI BERAGAMA

Loading

2 PONDASI BERAGAMA
Oleh Abu Rufaydah

Alhamdulillah wassholatu wassalamu ‘ala rasuulillah..,wa Ba’du

Berada di atas agama yang benar adalah anugrah yang paling agung, bagaimana tidak, semua kebahagaiaan, ketenangan, ketentraman dan kesempuraan ada pada agama yang bermuara pada hati yang beriman. Kita bersyukur atas nikmat islam ini, karena kita tidak dijadikan sebagai orang yang menyembah makhluk, menyembah berhala, menyembah patung, menyembah binatang, menyembah matahari dan bulai atau yang lainnya. Seorang ulama salaf mengatakan aku tidak tahu mana yang lebih istimewa antara nikmat islam dan sunnah. Iya keduanya adalah anugrah yang besar yang patut kita syukuri.

Agama islam telah sempurna, sehingga tidak perlu ada yang ditambahkan apalagi dikurangi. Dan tidaklah mungkin Allah mengutus seorang Nabi dan Rasul lalu mewafatkannya kecuali semua tugas yang diemban telah selesai dan telah sempuran. Maka barang siapa yang mambahkan atau mengurangi dari agama ini, sungguh ia telah menuduh Nabi melakukan penghianatan.

Imam Mâlik bin Anas rahimahullah berkata, “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) dalam Islam, dia memandangnya sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama), karena Allâh Azza wa Jalla telah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (al-Mâidah/5 :3) Oleh karena itu, apa saja yang pada hari itu tidak menjadi agama, pada hari inipun juga tidak menjadi agama”. [Kitab al-I’tishâm, 2/64, karya Imam Asy-Syâtibi]

Oleh karena itu penting bagi kita untuk berilmu sebelum beramal, berilmu sebelum meyakini dan berilmu sebelum berdakwah. Sehingga pengetahuan kita tentang Allah, Nabi-Nya dan agama islam telah benar. Jika tidak maka penyimpangan dan kerancuan akan terjadi dalam keyakinan kita. Mempelajari ilmu agama adalah kewajiban setiap muslim yang harus ia tekuni dan amalkan.

Sebagaiman tujuan hidup untuk ibadah dan ibadah tidak akan tegak kecuali memahami konsekwensi dari dua syahadat, dan keduanya tidak bisa dipisahkan, jiak dipisahkan antara satu dari keduanya bisa dipastikan tidak akan diterima. Syaikh Abdullah bin Shalah Al Ubailaan hafidhahullah berkata  : Agama kita dibangun diatas 2 pokok yang agung. (Al-Ishbah fi Bayani Mahajis Salaf Fii Tarbiyah wal ishlah, hlm. 11).

Beliau melanjutkan bahawa agama dibangun di atas dua pokok, Yang pertama yaitu ikhlas, yaitu mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Yang kedua adalah Mutaba’ah (ittiba kepada Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam). Keduanya tidak bisa dipisahkan karena keduanya merupakan konsekwensi dari dua kalimah syahadat.

Ketika kita mengucapkan Asyhadu alla ilaaha illallah artinya mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Dan ketika kita mengatakan Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah artinya kita memurnikan ittiba atau mutaba’ah kepada Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Dimana amal kita harus sesuai dengan apa yang di syari’atkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam.

Allah berfirman dalam surat Al-Mulk ayat 2:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ

“Dialah Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan agar Allah menguji kalian siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya.”

Berkata Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah: “Yang lebih baik amalnya, artinya yang paling ikhlas dan yang paling benar.” Yang paling ikhlas artinya yang betul-betul karena Allah. Dan yang paling benar artinya yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam.

Kata Beliau (Syaikh Al Ubailaan) : Manusia dilihat dari 2 pokok ini, terbagi menjadi 4 macam:

  1. Ahlul Ikhlas wal Mutaba’ah,yaitu yang memurnikan ibadah hanya kepda Allah dan betul-betul mengikuti Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Semua yang ia lakukan untuk Allah dari perkatan dan perbuatan semuanya untuk-Nya dan sesuai dengan apa yang Nabi contohkan. Maka ini adalah derajat yang paling tinggi.
  2. Orang yang tidak ikhlas dan tidak pula mutaba’ah. Sudahlah hatinya tidak ikhlas, tidak mengharapkan wajah Allah, sudah begitu tidak sesuai dengan contoh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Ini yang paling buruk tentunya

Allah berfirman :

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Janganlah kamu sekali-kali menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” [Ali/3 Imran 188]

Orang yang melakukan kebid’ahan dan dan kesyirikan serta merasa bahagia dengannya, orang seperti ini seperti ia membangun bangunan, namun tidak sesuai aturan. Sehingga digunakkan akan mengakibatkan roboh dan ditinggalkan pun mereka merasa sayang telah melakukannya.

  1. Orang yang ikhlas amalannya, tapi tidak sesuai dengan contoh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam, namun ia berbuat mengada-ada kebid’ahan. Maka amalannya juga tertolak. Dia tidak melakukan kesyirikan karena ia tahu bahayanya syiri bagi seseorang, namun ia terjatuh pada cara beragama yang salah yang tidak Nabi ajarkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

  1. Orang yang amalannya sesuai dengan sunnah Rasul tapi tidak ikhlas, maka inipun sama tidak diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)

Maka yang terbaik adalah yang pertama, yang sesuai dengan sunnah Rasulullah dan ia ikhlas di dalam mengamalkan ibadah tersebut. Maka setiap kita berusahalah semaksimal mungkin untuk merealisasikan keikhlasan dengan cara mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah, bukan karena pujian manusia, bukan pula karena mengharap dunia, tidak pula karena ia ingin diberikan kesenangan dari kehidupan dunia ini. Maka ini adalah merupakan akhwati islam kaidah yang harus kita benar-benar kita perhatikan dalam masalah tarbiyah dan islah, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. 

Wallahu A’lam

Leave a Comment