Oleh Ust. Abu Rufaydah, Lc. MA
(S1 LIPIA dan S2 PTIQ Jakarta Jurusan Tafsir)
- Definisi Tafsir.
Secara bahasa tafsir bermakna Al-Kasyfu (menyingkap sesuatu yang tertutupi), Al-Idhoh (penjelasan) dan At-Tabyiin (Penjelasan). Adapun menurut istilah para ulama mendefinisikan sebagai berikut :
Tafsir adalah menerangkan kandungan makna al-Qur’an al-Karim.[1]
Pendapat Abd al-Azhim al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur`an mengatakan:
علم يبحث عن القران الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية
“ilmu yang membahas tentang al-Qur`an dari segi dilalah-nya berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia”.[2]
Sementara al-Zarkasiy merumuskan tafsir dengan:
علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم ، وبيان معانيه ، واستخراج أحكامه وحكمه ، واستمداد ذلك من علم اللغة والنحو والتصريف وعلم البيان وأصول الفقه والقراءات ، ويحتاج لمعرفة أسباب النزول والناسخ والمنسوخ
“Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi, menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum atau hikmah darinya, yang bersumber dari ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Tashrif, Ilmu Bayan, Usul Fiqh, Qiro’at, asbabun Nuzul, Naskh dan Mansukh.[3]
Dari definisi diatas, maka Al-Allamah Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi Rahimahullah menyimpulkan bahwa ilmu tafsir ialah menjelaskan kalamullah, atau menjelaskan lafadz Al-Qur’an dan memahaminya.
2. TUJUAN MEMPELAJARI TAFSIR
Untuk mengetahui tujuan mempelajari ilmu Tafsir, Muhammad Ibn Shalih al-Utsaimin Rahimahullah menerangkan, bahwa tujuan mempelajari tafsir adalah untuk menggapai maksud yang terpuji dan memetik faidah yang agung yaitu: membenarkan berita-berita yang terkandung di dalamnya, memetik manfaat darinya, dan menerapkan hukum-hukumnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Dengan demikian, seorang hamba akan bisa beribadah kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu.[4]
3. RUJUKAN DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN
Para ulama menjelaskan, bahwa penafsiran al-Qur’an dapat diperoleh dengan bersandar kepada hal-hal berikut:
- Kalam Allah (al-Qur’an itu sendiri), yaitu suatu ayat ditafsirkan oleh ayat yang lain. Karena Allah yang menurunkan al-Qur’an maka Allah pula yang paling mengetahui apa yang Dia maksud dengan firman-Nya.
- Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu al-Qur’an ditafsirkan dengan as-Sunnah atau hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau adalah orang yang menyampaikan wahyu Allah tersebut kepada umat manusia, maka beliau lah orang yang paling mengetahui tentang makna yang dimaksud oleh firman Allah.
- Perkataan para sahabat radhiyallahu’anhum, terutama ahli tafsir diantara mereka. Karena al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka hidup. Mereka juga adalah orang-orang yang paling tulus dalam mencari kebenaran dan paling bersih dari penyimpangan-penyimpangan yang menjadi sebab seorang terhalang dari taufik kepada kebenaran.
- Perkataan para tabi’in yang memiliki perhatian besar terhadap periwayatan tafsir dari kalangan para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena umat manusia yang terbaik setelah para sahabat adalah para tabi’in dan mereka itu lebih bersih dari kotoran penyimpangan daripada generasi sesudah mereka. Selain itu, pada masa tabi’in juga belum terjadi banyak pergeseran dan perubahan dalam bahasa arab. Oleh sebab itulah para tabi’in lebih mendekati kebenaran dibandingkan generasi sesudah mereka. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berpaling dari madzhab para sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka kepada pemahaman yang bertentangan dengannya maka dia adalah orang yang berbuat kekeliruan dalam hal itu, bahkan tergolong pelaku kebid’ahan, walaupun dia seorang mujtahid yang boleh jadi kesalahannya itu mendapatkan ampunan.” Penunjukan makna secara syari’at maupun secara bahasa yang terkandung di dalam ayat sesuai dengan konteks pembicaraannya. Apabila terdapat perbedaan antara makna suatu kata dalam istilah syari’at dan pengertian bahasa maka yang lebih didahulukan adalah pemaknaan menurut syari’at karena al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan syari’at, bukan untuk menjelaskan bahasa, kecuali apabila terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut memang pemaknaan secara bahasa maka makna itulah yang diambil.[5]
- Tafsir al-Qur’an dengan bahasa arab.[6]
- Mentafsirkan al-Qur’an dengan akal dan ijtihad.[7]
4. SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Sejarah tafsir dimulai sejak masa Rasulullah sampai masa kontemporer. Ilmu tafsir memiliki perkembangan dari zaman ke zaman dimana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Disamping itu al-Qur’an mengandung banyak cabang ilmu. Diantara ilmu al-Qur’an adalah ilmu yang berkitan dengan tafsir. Dari perkembahan tafsir yang ada tidak keluar dari dua hal, yaitu tafsir bin Naqli dan Tafsir bil Aqli. Berkut fase-fase perkembangan ilmu tafsir dari zaman ke zaman :
5. PERKEMBANGAN TAFSIR PADA MASA RASULULLAH.[8]
Fase ini dimulai sejak Nabi diutus sampai beliau wafat tahun 11 H. Pada fase ini Nabi mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat. Menjelaskan al-Qur’an yang dianggap sulit, walaupun para sahabat memahami bahasa arab. Akan tetapi Al-Qur’an berada pada puncak ketinggian bahasa. Contohnya adalah makna Quwwah dalam surat Al Anfaal 60, maka Nabi menafsirkan makna Quwwah dalam ayat ini adalah Ar-Ramyu (memanah). HR. Muslim. Pada Fase ini Tafsir memiliki bebarapa kelebihan diantaranya:
- Al-Qur’an belum ditafsirkan secara global dan kebanyakan ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan.
- Tidak ada ikhtilaf, kalaupun ada maka mereka segera menanyakan kepada Nabi.
- Belum dibukukan, hanya diriwayatkan secara lisan.
- Hanya focus pada makna bahasa yang mereka pahami.
- Pada masa ini tafsir bagian dari ilmu hadits.[9]
6. PERKEMBANGAN TAFSIR PADA MASA SAHABAT NABI. (11 – 40 H).[10]
Fase ini dimulai dari wafatnya Nabi sampai tahun 40 H. Pada fase ini para sahabat menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dimengerti. Ilmu Tafsir berkembang sangat pesat, hal ini disebabkan karena semakin banyaknya orang yang masuk islam dan tidak bisa bahasa arab. Usaha para sahabat dalam ilmu tafsir :
- Tafsir Qur’an dengan Al-Qur’an.
- Mengambil pendapat nabi dalam mentafsirkan ayat.
- Kemampuan sahabat dalam memahami bahasa arab. Para sahabat memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memahami tafsir, diantara sahabat yang menonjol dalam bidang ini adalah Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu Anhum.
Diantara kelebihan Tafsir pada masa ini adalah :
- Tidak ada perelisihan yang banyak, jikapun ada maka itu masuk ke bab Khilaf Tanawwu’.
- Lebih terfokus pada makna secara global dibandingkan secara detail.
- Ilmu tafsir belum dibukukan secara tersendiri.
- Selamatnya tafsir dari penyimpangan dan kebid’ahan.
- Memiliki kekuatan dalam penafsiran, karena mereka hadir dizaman wahyu turun dan memahami bahasa arab dengan baik.[11]
7. PERKEMBANGAN TAFSIR MASA TABI’IN. (40 H – Abad ke 2 H).
Para tabi’in mengambil ilmu Tafsir dari para sahabat dan menambahkan penjelasan sesuai yang dibutuhkan. Pada masa ini berkembang madrasah para mufassir dari kalangan para sahabat, diantaranya yang paling terkenal adalah :
- Para ulama Mekah yang berguru kepada Ibn ‘AbbasRadhiyallahu’anhuma, semacam Mujahid, ‘Ikrimah, dan ‘Atha’ Ibn Abi Rabah, Thaus Ibn Kaisan al-Yamani Rahimahullah Ta’ala.
- Para ulama Madinah yang berguru kepada Ubay Ibn Ka’abRadhiyallahu’anhu, semacam Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah, dan Muhammad ibn Ka’ab al-Qardhi.
- Para ulama Kufah yang berguru kepada Ibn Mas’udRadhiyallahu’anhu, semacam Qotadah, ‘Alqomah, dan asy-Sya’bi, Masruuq, Al-Aswad ibn Yazid, Amr Asy’by, Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah. [12]
Diantara kelebihan Tafsir pada masa ini adalah :
- Masuknya riwayat israiliyat dan dari ahli kitab, disebabkan banyaknya orang yang masuk islam dari nasrani.
- Tafsir masih terjaga dengan cara talaqqi, hanya saja tidak seperti pada zaman nabi yang meriwayatkan secara sempurna.
- Semakin nampaknya perbedaan madzhab, sehingga berakibat pada pengelompokan masing-masing tafsir.
- Banyaknya perbedaan antara para Tabi’in.[13]
Pada masa ini ilmu tafsir masih menjadi bagian dari ilmu hadits, belum dibukukan secara tersendiri. Diantara yang memasukan tafsir ke dalam kitab hadits adalah Imam Al-Bukhari dan Muslim dan yang lainnya. Adapun yang penulis tafsir pada masa ini yang terkenal adalah; Yazid ibn Harun Ast-Tsuami (wafat 117 H), Syu’bah ibn al-Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ ibn Jarrah (wafat 197 H), Sufyan ibn Uyainah (wafat 198 H), Abdurrazaq ibn Hammam (wafat 211 H), Adam ibn Abi Iyas (wafat 220), dan Waid ibn Hamid (wafat 249 H).
8. MASA PENULISAN ILMU TAFSIR. (ABAD 2 – 4 H.[14] )
Masa ini dimulai dari akhir pemerintahan Bani Umayyah, dan dari awal dinasti Al-Abbasiyah. Pada masa itu hadits menjadi proritas pertama dalam penulisan, tafsir bagian dari bab-bab dalam kitab hadits, dan belum dibukukkan secara tersendiri, seperti mentafsirkan surat-surat dan ayat perayat dari awal sampai akhir.[15] Para Tabi’in mengambil makna dan tafsir al-Qur’an secara talaqqi dari para sahabat. Pada masa ini adalah masa terpenting dalam kajian Ilmu Tafsir. Pada masa ini Tafsir melalui beberapa tahapan, diantaranya:
- Penulisan Tafsir dimulai dalam buku-buku Hadits, dimana dalam kitab-kitab hadits terdapat bab-bab yang membahas tafsir yang dinukil dari Nabi, Sahabat dan Tabi’in.
- Tahap kedua adalah tahapan pembukuan Kitab tafsir secara khusus, membahas setiap ayat sesuai urutan surat. Inilah yang disebut dengan Tafsir bil Ma’tsur.
- Tahap ketiga adalah dengan munculnya Tafsir bi Ra’y atau bil Aqli, tafsir ini muncul setelah tafsir bil Ma’tsur.
Diantara kelebihan di masa ini adalah :
- Penulisan Tafsir bi Ra’yi setelah tafsir bil ma’tsur.
- Tafsir menjadi kitab tersendiri yang sebelumnya merupakan bagian dari bab hadits atau ilmu lainnya.
- Adanya kelebihan tafsir bi ra’yi atas tafsir bi ma’tsur.
- Munculnya tafsir bil ra’yi juga berakibat pada kesalahan dalam menafsirkan al-Qur’an karena sesuai pemikiran, aqidah atau madzhab penulisnya.
- Sebagian Mufassir mengkhususkan bahasan tafsirnya sesuai dengan keilmuannya, diantaranya ada yang pendekatan bahasa arab, balaghah, fiqh dan ilmu lainnya.
Ibn Taimiyah Rahimahullah Ta’ala berpendapat bahwa orang yang pertama kali menulis tafsir secara tersendiri adalah Abdul Malik bin Juraij Rahimahullah (wafat 140 H)[16]. Akan tetapi Muhammad Husain Adz-Dzahabi dan Mannan al-Qoththon mengatakan bahwa orang yang pertama kali menulis Tafsir adalah Ibnu Majah (Wafat 273 H), Ibn Jarir Ath-Thabari (Wafat 310 H), Abu Bakar min Mundzir An-Naisaburi (wafat 318 H), Ibn Abi Hatim (Wafat 327 H), Abu Asy-Syaikh ibn Abi Hayyan (wafat 269), al-Hakim (wafat 405 H), Abu Bakar ibn Marduwaih (wafat 410 H), dan yang lainnya yang mentafsirkan dengan tafsir bil Ma’tsur.[17]
9. MASA MODEREN.
Perkembangan tafsir pada masa kontemporer ini bisa diihat dari beberapa sisi, diantaranya ;
- Pera peneliti Tafsir memiliki peranan yang besar dalam mentahqiq kitab-kitab tafsir klasik.
- Munculnya corak tafsir yang bermacam-macam, seperti, tafsir ilmy, tafsir maudhu’I, tafsir bayaan dan tafsir lainnya.
- Para mufassir masa kini menambahkan tafsir mereka dengan adanya bab kandungan faidah dan hikmah yang terkandung didalamnya.
Pada masa ini para mufassir mentafsirkan al-Qur’an sesuai dengan keahlian dan kecondongan para ahli tafsir seperti, berkaitan dengan pemikiran-pemikiran modern, tafsir adab, dan lainnya. Diantara mufassirnya adalah Syaikh Tanthowi Jauhari (Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an), Muammad Rasyid Ridha (Tafsir Al-Manar), Muhammad Mushtafa al-Muraghi dan yang lainnya.[18]
10. PEMBAGIAN ILMU TAFSIR.
Musa’id ibn Sulaiman Ath Thoyyar Hafidhohullah menjelaskan dalam kitabnya Fusulun fii Usulit Tafsir bahwa Ilmu Tafsir dibagi ke beberapa bagian, diantaranya :
- Tafsir dari segi pengetahunan yang mentafsirkan. Maka Ibn Abbas Radhiallahu Anhu membagi menjadi empat bagian yaitu; tafsir yang diketahui orang arab dari segi bahasanya, afsir yang bisa dipahami oleh siapapun, tafsir yang hanya diketahui oleh ulama, tafsir yang hanya diketahui Allah dan orang yang mengaku mengetahuinya maka pada dasarnya ia telah berdusta. Penegrtian ini dijelaskan juga oleh Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqoni.[19]
- Saran Tafsir untuk mencapai kepadanya yaitu ada dua; petama tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bi Ra’yi.
- Metodelogi penfsiran al-Quran dengan uslubnya atau metode penalaran terbagi menjadi empat bagian yaitu; Tafsir Tahlili, Tafsir Maudhui, Tafsir muqorin dan Tafsir Ijmali.
- Tafsir dari segi orang yang mentafsirkan al-Qur’an sesuai pandangan dari aqidahnya. Ada tafsir salafy seperti Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Asy-Syinqity. Dari Mu’tazilah seperti Zamakhsyari. Dan dari Asy-‘Ari seperti Tafsir ar-Razy. [20]
Adapun metodelogi Tafsir secara global tidak keluar dari Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir bi Ra’yi.
- Tafsir bil Ma’stur.
Dinamai dengan nama ini (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; Al Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah; dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah; dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat. Tafsir bil Ma’stur terbagi empat bagian :
- Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an dan inilah tafsir paling baik dan benar. Contohnya surat Ath-Thoriq dan lainnya.
- Tafsir al-Qur’an dengan Hadits. Contohnya seperti Alladzina amanuu lam yalbisu iimaanahum bizhulmin. (QS. Al An’am: 82). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkannya dengan mengacu pada ayat, “innasy syirka lazhul mun ‘azhiim.” (QS. Luqman: 13). Dengan itu, beliau menafsirkan makna “zhalim” dengan syirik.
- Tafsir Al-Quran dengan perkataan sahabat. Para sahabat adalah orang yang hadir pada saat turun al-Qur’an, mereka mengetahui untuk apa, kepada siapa, dan dimana turun al-Qur’an.[21]
- Tafsir al-Qur’an dengan perkataan tabi’in. Contohnya Istawa ilas sama’ (QS. Al-Baqorah 29). Abu Aliyah berkata Istawa bermakna irtafa’a.
- Tafsir al-Qur’an dengan bahasa arab. Seperti dalam QS. Al-Anbiya 25. Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa At-Tamatsir bermakna Al-Ashnam.
Diantara kitab Tafsir bi Al-Ma’tsur yang terkenal antara lain:[22]
- التفسير المنسوب إلي ابن عباس ه.
- تفسير ابن عيينة.
- تفسير ابن أبي حاتم.
- تفسير أبي الشيخ ابن حبان.
- تفسير ابن عطية.
- تفسير ابن الليث السمرقندي “بحر العلوم”.
- تفسير أبي إسحاق “الكشف والبيان عن تفسير القرآن”.
- تفسير ابن جرير الطبري “جامع البيان في تفسير القرآن”.
- تفسير البغوي (معالم التنزيل)
- تفسير أبو الفداء الحافظ ابن كثير (تفسير القرآن العظيم).
- تفسير الثعالبي ( الجواهر الحسان في تفسير القرآن).
- الدرر المنثور في التفسير بالمأثور لجلال الدين السيوطي 1314 ه
- تفسير الشوكاني (فتح القدير).
- Tafsir bi Ar-Ra’yi
Perkembangan zaman menuntut pengembangan metode tafsir yang disebabkan tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah, maka ilmu tafsir membutuhkan peran ijtihad yang lebih besar dibandingkan dengan tafsir bi Al-Matsur. Dengan bantuan ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan mengembangkan maksud ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Namun, tidak semua hasil tafsir yang mereka tulis bisa diterima karena merupakan hasil ijtihad yang berpeluang untuk benar dan salah. Tafsir bil Ra’yi terbagi dua, yaitu; yang tercela dan terpuji.
- Tafsir bil Ra’yi yang tercela adalah tafsir yang bersandar pada persaaan, logika atau akal yang tidak didasari dengan ilmu. Maka Rasulullah mengancam orang-orang seperti ini. Rasulullah bersabda :
“من قال في القرآن بغير علم فليتبوء مقعده من النار” . رواه الترمذي .
Siapa yang berbicara al-Qur’an tanpa ilmu maka hendaklah ia mengambil tempatnya dineraka. (HR. At-Tirmizi)
- Tafsir bil Ra’yi yang terpuji adalah mentafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan mengembangkan maksud ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Musaid ibn Sulaiman ath-Thayyar memberikan beberapa panduan agar tafsir bil ra’yi dapat diterima.
- Kembali kepada dalil-dalil yang shahih dan tidak menyelisihinya.
- Kembali kepada atsar-atsar para sahabat dan tidak menyelisihinya.
- Tidak keluar dari kaidah bahasa arab.
- Memperhatikan kaidah-kaidah al-qur’an seperti, Aam, Takhshish, Nasakh Mnsukh dan lainnya.
Berikut beberapa tafsir bi Ra’yi yang terkenal antara lain:[23]
- تفسير عبد الرحمن بن كيسان الأصم.
- تفسير أبي علي الجبائي.
- تفسير عبد الجبار.
- تفسير الزمخشري “الكشاف عن حقائق غوامض التنزيل، وعيون الأقاويل، في وجوه التأويل”.
- تفسير فخر الدين الرازي “مفاتيح الغيب”.
- تفسير ابن فورك.
- تفسير النسفي “مدارك التنزيل وحقائق التأويل”.
- تفسير الخازن “لباب التأويل في معاني التنزيل”.
- تفسير أبي حيان “البحر المحيط”.
- تفسير البيضاوي “أنوار التنزيل وأسرار التأويل”.
- تفسير الجلالين: جلال الدين المحلي، وجلال الدين السيوطي.
Metodologi tafsir dari segi uslubnya terbagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaron, dan maudlu’i.[24]
- Metode Tahlili (analitik).[25]
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’I, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya. Diantara Tafsir yang memakai metodelogi ini adalah Tafsir Ibnu Athiyah, Al-Alusy, Asy-Syaukani dan yang lainnya.
- Metode Ijmali (global).[26]
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin. Diantara Tafsir yang memakai metodelogi ini adalah Tafsir As-Sa’dy, Tafsir An-Naasiry, dan yang lainnya.
- Metode Muqarran.[27]
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu. Diantara kitab tafsir muqaran adalah tafsir Ath-Thabari dan yang lainnya.
- Metode Maudhui (tematik).[28]
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya. Secara global tafsir Ijmali dibagi menjadi emapat bagian :
- Tafsir Qur’an bil Qur’an, metode ini menjadi pembahasan inti dalam tafsir maudu’i. Contohnya adalah ketiak Rasulullah mentafsirkan surat Al-An’am 59. Beliau mengatakan Mafaatihul Ghaib ada lima yang terkandung dalam Surat Luqman ayat 34.
- Ayatul Ahkam, yaitu para ahli Fiqh mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan bab fiqh, lalu mempelajadi dan beriistimbat dari ayat-ayat yang kontradiktif.
- Al-Sybah wan Nadhoir ; para ulama mengumpulkan lafadz yang sama yang berbeda makna. Contohnya adalah kata Khair didalam al-Qur’an disebutkan dibeberapa tempat yang memiliki banyak arti.
بمعنى المال في قوله ((إذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ المَوْتُ إن تَرَكَ خَيْراً))[البقرة 180] ، والإيمان كقوله : ((ولَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْراً لأَسْمَعَهُمْ)) [الأنفال 23] ، والإسلام كقوله : ((مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ))[القلم 2] ، وبمعنى أفضل كقوله : ((وأَنتَ خَـيْــرُ الرَّاحِمِينَ))[المؤمنون 109]، والعافية كقوله : ((وإن يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إلاَّ هُـــــوَ وإن يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ))[الأنعام 17]، والأجر كقوله : ((لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ))[الحج 36]، والطعام كقوله : ((فَقَالَ رَبِّ إنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ))[ القصص 24]،، وبمعنى الظفر والغنيمة والطعن في القتال كقوله : ((ورَدَّ اللَّهُ الَذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْراً))) .الأحزاب 25(
- KELOMPOK MUFASIR.
Al-Hafidz Jalaluddin Abdur Rahman As-Suyuty Rahimahullah dalam kitabnya Al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an membagi kelompok mufassirin ke bebrapa bagian :
Kelompok pertama dari kalangan para sahabat yaitu, Abu Bakr, Umar ibn Khaththab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ary, Abdullah ibn Zubair. Adapun dari kalangan khulafaur Rasyidin yang paling banyak meriwayatkan adalah Ali ibn Abi Thalib, sedangkan tiga orang lainnya jarang meriwayatkan karena wafat mereka lebih dahulu dari pada Ali. Seperti halnya periwayatan hadits dari Abu Bakr sangat sedikit.
Kelompok kedua dari kalangan para tabi’in, yaitu terdiri dari murid-muridnya Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan dari Ubay ibn Ka’ab seperti yang disebutkan diatas. Beberapa pujian ulama kepada para muffasir tabi’in.
Al-Fudhail ibn Maimun berkata ; “Aku pernah mendengar Mujahid berkata; “Aku pernah menyetorkan al-Qur’an kepada Ali sebanyak tiga puluh kali”.
Khusyaf Rahimahullah berkata : “Orang yang paling berilmu dikalang para tabi’in adalah mujahid”.
Sufyan Ats-Tsauri berkata : “Jika datang kepadamu tafsir dari jalan mujahid maka sudah cukup bagimu”. Beliau juga pernah berkata ; “Ambilah Tafsir dari empat orang, yaitu; Sa’id ibn Jubair, Mujahid, Ikrimah dan Dhahak Rahimahullah.
Qatadah Rahimahullah berkata; “Orang yang paling alim dikalang tabiin ada empat orang; Atha ibn Abi Rabah yang paling alim tentang manasik, Sa’id ibn Jubair paling alim tentang tafsir, Ikrimah paling aliam tentang sejarah, dan Al-Hasan Al-Bashri paling alim tentang halal dan haram.
Kemudin yang datang setelah mereka seperti Sufyan ibn Uyainah, Waki’ ibn Jarrah, Syu’bah ibn al-Hajjaj, Yazin ibn Harun, Abdurrazzaq, Adam ibn Abi Iyas, Ishaq ibn Rahawaih, Ruh ibn Ubadah, Abdullah ibn Hamid, Abu Bakar ibn Abi Syaibah dan yang lainnya.[29]
Kemudian Mannan Al-Qoththon menambahkan beberapa tingkatan para mufassir setelah tingkatan para tabi’in. Yaitu kelompok mufassir yang menulis tafsir SEPERTI; Sufyan bin Uyainah, Waki’ bin al-Jarrah, Syu’bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun, Abdurrazaq, Adam bin Abi Iyas, Ishaq bin Rahawaih, Abd bin Hamid, Ruh bin Ubadah, Abu Bakr bin Abi Syaibah dan yang lainnya.
Tingkatan ke empat adalah Ali bin Abi Thalhah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Majah, Ibnu Abi Hatim, Al-Hakim, Ibnu Murdawaih, Abu Asy-Syaikh bin Hibban, ibnu Mundzir dan yang lainnya.
Tingkatan ke lima adalah Tafsir al-Qur’an dari segi bahasa dan I’rab. Seperti Abu Ishaq Zujjaj, Abu Ali Al-Farisi, Abu Bakr Nuqasy, dan Abu Ja’far Nuhas.
- METODE MUFASSIR SYI’I.
Metode Mufasir Sunni sudah kita bahas secara ringkas dipembahasan sebelumnya. Adapun yang akan kita bahas yaitu metode mufasir syi’i. Dr. Zaid Umar Abdullah mengatakan dalam kitabnya Manhaj Al-Qumi fi Tafsirihi beberapa poin metode tafsir Syi’I, diantaranya:
- Mentafsirkan Al-Qur’an hanya dari Imam mereka saja.
- Pendapat para sahabat dan tabi’in tidak diambil.
- Mereka berpendapat bahwa al-Quran ada yang Nampak dan ada yang tersembunyi.
- Mengunakan uslub Jaryi yaitu menganggap apa yang benar ada pada imam-imam mereka adapun yang salah bersumber dari musuh mereka.
- Merubah atau menyimpakn al-Qur’an.
- H. Thabathabi seorang ulama Syi’ah mengatakan dalam kitabnya Al-Qur’an fi Al-Islam: “Kelompok pertama adalah orang-orang yang mengemukakan tafsir dari Rasulullah dan para Imam Ahlul Bait, dan mereka memasukkan hadis-hadis itu dalam berbagai karangan mereka, seperti Zurarah, Muhammad bin Muslim, Ma’ruf, Jarir dan lain-lain.30). Kelompok kedua adalah orang-orang yang pertama kali menulis buku tafsir, seperti Furat bin Ibrahim al-Kufi, Abu Hamzah as-Tsali, al-‘Iyasyi, Ali bin Ibrahim al-Qummi dan an-Nu’mani.31”.[30]
PENUTUPAN
Dari pembahasan makalah diatas, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
- Tafsir al-Qur’an muncul semenjak zaman Rasulullah, karena al-Qur’an diturunkan kepadanya.
- Pada masa Rasulullah tafsir al-Qur’an ditafsirkan secara global.
- Pada masa Sahabat. Pada fase ini para sahabat menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dimengerti. Ilmu Tafsir berkembang sangat pesat, hal ini disebabkan karena semakin banyaknya orang yang masuk islam dan tidak bisa bahasa arab.
- Pada masa Tabi’in. Para tabi’in mengambil ilmu Tafsir dari para sahabat dan menambahkan penjelasan sesuai yang dibutuhkan. Pada masa ini berkembang madrasah para mufassir dari kalangan para sahabat.
- Pada Masa Penulisan. Pada masa itu hadits menjadi proritas pertama dalam penulisan, tafsir bagian dari bab-bab dalam kitab hadits, dan belum dibukukkan secara tersendiri, seperti mentafsirkan surat-surat dan ayat perayat dari awal sampai akhir.
- Pada masa Kontemporer. Para Mufasir lebih banyak meneliti dan mengkaji tafsir dari berbagai banyak segi. Sehingga kajian Tafsir lebih menarik.
- Metode mentafsirkan Al-Qur’an secara umum ada dua, yaitu tafsir bil ma’tsur dan bi ra’yi.
- Metode lain dari kedua diatasa adalah dengan metode tahlili, maudhui, ijmali dan muqarin.
- Mentafsirkan al-Qur’an juga bisa dilihat dari segi keahlian mufasir dalam mentafsirkan al-Qur’an. Contohnya tafsir ayatul ahkam, bahasa dan lainnya. Atau dari segi pemikiran dan idiolagi.
- Tafsir Al-Qur’an sunni dan Syi’i memiliki perbedaan dalam pengambilan dalil.
DAFTAR PUSTAKA
Utsaimin, Muhammad Ibnu rahimahullah, Ushul fi at-Tafsir, Kairo; Maktabah Al-
Islamiyah 2001, hal. 25.
Az-Zarqoni, Muhammad Abdul Adzhim, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, Bairut: Darul
Kitab al-Arobi, 1415, hal. 6 jilid. 2.
Az-Zarkasyi, Badruddin bin Abdullah, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, Kairo: Darul Hadits,
2006, hal. 415.
Zainu, Muhammad bin Jamil, Kaifa Nafhamul Qur’an, Saudi, t.p.
Thoyyar, Musa’id bin Sulaiman, Fusuulun Fii Ilmi tafsir, Riyadh, Darun Nasyri Ad-
Dauli 1993 hal. 24.
Adz-Dzahaby, Muhammad Husain, At-Tafsiir wal Mufassirun, Kwait: Daarun Nawadir,
2010.
Al-Qoththon, Mannan, Mabahits fii Ulumil Qur’an, Kairo: Maktab wa Hibah. t.th.
Taimiyah, Ahmad bin Ibnu, Majmu Fatawa, Riyadh: Kerajaan Arab Saudi, 1415 H.
As-Suyuty, Jalaluddin Abdur Rahman, Al-Itqon fi Ulumil Qur’an, Kaira: Darul Hadits
2006.
Thabathabi, Muhammad Husain, Menyingkap Rahasia Al-Qur’an, Bandung: Mizan,
1997.
[1] Muhammad Ibnu Utsaimin rahimahullah, Ushul fi at-Tafsir, Kairo; Maktabah Al-Islamiyah 2001, hal. 25.
[2] Muhammad Abdul Adzhim Az-Zarqoni, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, Bairut: Darul Kitab al-Arobi, 1415, hal. 6 jilid. 2.
[3] Badruddin bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, Kairo: Darul Hadits, 2006, hal. 415.
[4] Muhammad Ibn Utsaimin, Ushul fi at-Tafsir, hal. 26
[5] Muhammad Ibn Utsaimin, Ushul fi at-Tafsir, hal. 27.
[6] Muhammad Ibn Jamil Zainu, Kaifa Nafhamul Qur’an (Saudi, tanpa penerbit dan tahun, hal. 15)
[7] Musa’id bin Sulaiman Ath Thoyyar, Fusuulun Fii Ilmi tafsir, Riyadh, Darun Nasyri Ad-Dauli 1993 hal. 24.
[8] Muhammad Husain Adz-Dzahaby, At-Tafsiir wal Mufassirun, Kwait: Daarun Nawadir, 2010 hal. 32.
[9] Muhammad Husain Adz-Dzahaby, At-Tafsiir wal Mufassirun, hal. 97-98.
[10] Muhammad Husain Adz-Dzahaby, At-Tafsiir wal Mufassirun, hal. 99-101.
[11] Muhammad Husain Adz-Dzahaby, At-Tafsiir wal Mufassirun, hal. 130.
[12] Muhammad Ibn Utsaimin, Ushul fi at-Tafsir, hal. 37 dan Muhammad Husain Adz-Dzahaby, At-Tafsiir wal Mufassirun, hal, 101-125.
[13] Muhammad Husain Adz-Dzahaby, At-Tafsiir wal Mufassirun, hal. 130-131.
[14] Muhammad Husain Adz-Dzahaby, At-Tafsiir wal Mufassirun, hal. 140.
[15] Mannan Al-Qoththon, Mabahits fii Ulumil Qur’an, Kairo: Maktab wa Hibah, hal. 332.
[16] Ahmad bin Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, Riyadh: Kerajaan Arab Saudi, 1415 H. juz 20. hal. 32
[17] Mannan Al-Qoththon, Mabahits fii Ulumil Qur’an, hal. 332.
[18] Mannan Al-Qoththon, Mabahits fii Ulumil Qur’an, hal. 360-362.
[19] Muhammad Abdul Adzhim Az-Zarqoni, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, Bairut: Darul Kitab al-Arobi, 1415, hal. 11 jilid. 2
[20] Musa’id bin Sulaiman Ath Thoyyar, Fusuulun Fii Ilmi tafsir, hal. 20-23.
[21] Muhammad Abdul Adzhim Az-Zarqoni, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, jilid 2, hal. 11-12.
[22] Mannan Al-Qoththon, Mabahits fii Ulumil Qur’an, hal. 349-350.
[23] Mannan Al-Qoththon, Mabahits fii Ulumil Qur’an, hal. 356
[24] Musa’id bin Sulaiman Ath Thoyyar, Fusuulun Fii Ilmi tafsir, hal. 19.
[25] Musa’id bin Sulaiman Ath Thoyyar, Fusuulun Fii Ilmi tafsir, hal. 19.
[26] Musa’id bin Sulaiman Ath Thoyyar, Fusuulun Fii Ilmi tafsir, hal. 19.
[27] Musa’id bin Sulaiman Ath Thoyyar, Fusuulun Fii Ilmi tafsir, hal. 20.
[28] Musa’id ibn Sulaiman Ath Thoyyar, Fusuulun Fii Ilmi tafsir, hal. 20.
[29] Jalaluddin Abdur Rahman As-Suyuty, Al-Itqon fi Ulumil Qur’an, Kaira: Darul Hadits 2006 hal, 479-487.
[30] Muhammad Husain Thabathabi, Menyingkap Rahasia Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.
Related Post
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.