Perhatian Islam Pada Janin
Oleh : Ust. Abu Rufaydah
Tidak ada yang paling dinanti oleh sepasang suami istri setelah pernikahan kecuali kehamilan. Kehadiran bayi menjadi pelengkap kebahagiaan setiap keluarga, terlebih jika kehamilan itu hadir disaat usia tidak lagi muda. Maka hendaknya setiap keluarga muslim untuk menyambut kehamilan dengan rasa syukur kepada Allah.
Syaikh Jamal Abdurrahman dalam kitabnya Athfalul Muslimin Kaifa Rabbahu an-Nabiyu al-Amiin menyebutkan beberapa perhatian islam terhadap anak dalam kandungan ibunya. Hal ini menunjukan kesempurnaan agama islam yang mengatur kehidupan dunia dan akhirat manusia. Tidak ada yang luput dari perhatian islam, termasuk pada saat anak dalam rahim ibunya.
Salah satu bukti yang menunjukan perhatian islam terhadap anak semasa masih berada di dalam rahim ibunya adalah nafkah yang diperintahkan oleh islam agar diberikan kepada wanita hamil yang telah ditalak tiga. Nafkah ini sebenarnya untuk bayi yang ada dalam kandungannya, bukan untuk ibunya. Sebab, hak nafkah untuk ibunya telah gugur dengan talak tiga yang dijatuhkan oleh suami kepadanya.
Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya sebanyak tiga kali, berarti harus berpisah dengannya dan menjadi wanita lain. Ia sudah tidak memiliki hak untuk menerima nafkah atau jaminan tempat tinggal dari mantan suaminya. Demikian menurut pendapat yang lebih kuat di kalangan para ulama fiqh. Namun, jika wanita bersangkutan dalam keadaan hami, menurut kesepakatan semua ulama ia masih berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. (Ibnu Qudamah, al-Mughni : VII/232).
Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman :
“….Dan jika mereka (istri-istri yang telah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sehingga mereka bersalin…. (QS. Ath-Thalaq : 6).
Kewajiban suami menafkahi wanita mengandung yang telah ditaak ba’in (talak tiga) tidak lain halnya demi bayinya. Jalan satu-satunya untuk hal ini adalah dengan memberikan nafkah kepada ibunya. Sehubungan dengan hal ini Ibnu Quamah berkata : “Karena bayi yang dikandung adalah anaknya (mantan suami) maka ia pun wajib menafkahinya. Karena pemberian nafkah kepada sang bayi hanya memungkinkan dilakukan melalui ibunya maka memberi nafkah kepada ibunya menjadi wajib sama halnya dengan upah menyusui. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni VIII/232).
Perhatian lain yang diberikan islam kepada bayi adalah menjaganya dari hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan semasa berada dalam rahim ibunya. Karena itu, ibu yang sedang hamil, bila merasa khawatir dengan kesehatan janinnya, diperbolehkan untuk tidak berpuasa pada bulan ramadhan.
Posisinya sama dengan orang sakit dan orang yang sedang dalam perjalanan. Bahkan, sebagian ulama ada yang membebaskannya dari kewajiban membayar kafarat, tetapi tidak untuk wanita yang sedang menyusui. Mereka beralasan karena kedudukan janin sama halnya dengan bagian dari tubuh wanita yang mengandunya dan kekhawatiran akan keselamatannya sama dengan kekhawatiran terhadap keselamatan sebagian dari anggota tubuh wanita yang bersangkutan.
Beda halnya dengan kasus wanita yang sedang menyusui jika tidak dapat menyusui bayinya. Dalam hal ini bisa saja ia mengupah wanita lain untuk menyusui anaknya. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni III/149-150). Para ulama mengatagorikan kasus wanita menyusui ini ke dalam masalah yang disebut oleh firman Allah :
“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.’ (QS. Al-Baqarah : 184).
Perhatian lain dalam islam kepada bayi yang masih ada dalam kandungan ibunya adalah penangguhan hukuman yang harus dijalani oleh sang ibu. Jika hukuman tersebut dapat mempengaruhi atau dipastikan akan mematikan sang bayi yang ada dalam kandungannya maka hukuman bagi ibu ditinggalkan. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imran ibn Husain mengisahkan bahwa pernah ada seorang wanita yang hamil setelah berzina dari kalangan Bani Juhainah datang kepada Nabi Shalallahu Alaihi Wasallah. Ia berkata : “Wahai Nabi Allah, aku telah melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan hukum had. Sudikah kirianya engkau menegakkan hukuman itu terhadap diriku.” Setelah mendengar pengakuan itu, Nabi memanggil wali wanita tersebut, lalu Nabi bersabda kepadanya, “Rawatlah ia dengan baik. Bila telah melahirkan, bawalah kepadaku kembali.”
Wali itu pun melakukannya. Setelah itu, Nabi memerintahkan agar wanita tersebut diikat dengan kainnya. Kemudian beliau memerintahkan kepada mereka untuk merajamnya. Setelah selesai hukuman had dan jenazahnya diurus, Nabi menshalatkannya.” (HR. Muslim III/1324).
Dalam hadits yang lain yang juga diriwayatkan oleh muslim, seorang wanita dari bani Ghamidiyah mengaku berbuat zina dan meminta kepada Nabi agar menegakkan hukuman had terhadap dirinya. Nabi bersabda : “Pulanglah tunggu sampai engkau melahirkan.” Setelah melahirkan, wanita itu datang dengan membawa bayinya di balutan kain. Ia berkata, “Ini bayinya, aku telah melahirkan. Nabi bersabda : “Pulanglah dan susuilah ia hingga engkau menyapihnya.”
Setelah wanita itu menyapih bayinya, ia datang lagi dengan membawa bayinya yang memegang separoh roti di tangannya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, bayi ini telah saya sapih dan sudah bisa makan sendiri.” Nabi pun menyerahkan bayi itu kepada salah seprang sahabat, kemudian memerintahkan agar dibuatkan gaian sampai batas dada wanita iti. Belia lalu memerintahkan kepada orang-orang untuk merajamnya. Mereka pun merajamnya. (Jamal Abdur Rahman, Athfaul al-Muslimiin Kaefa Rabbahu An Nabiyu al Amiin, hal. 14-16).
📚 Artikel ini disebarluaskan oleh
@CKS (Cianjur kota Santri).
🌍www.cianjurkotasantri.com/wp/wp.
🌐 IG, FP . Cianjurkotasantri
👉 join Telegram klik : Bit.ly/1S79GTK
📱 Atau Via WA dengan mengetik Daftar#Nama#L/P#Alamat kirim ke 085624098804