MENINGGALKAN LARANGAN DAN MELAKSANAKAN PERINTAH

Loading

MENINGGALKAN LARANGAN DAN MELAKSANAKAN PERINTAH

HADITS ARBAIN KE 9

Oleh Abu Rufaydah

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah ‘Abdurrahman bin Shakr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apa saja yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337]

 

ROWI HADITS

Abu Hurairah nama aslinya yaitu Abdurrahman bin Shakr, berasal dari suku Daus Yaman. Masuk islam pada tahun ke tujuh hijriah pada usia 26 tahun. Membersamai Nabi kurang lebih empat tahun dengan mampu meriwayatkan sekitar 5000 hadits. Beliau wafat di umur 78 tahun, maka  jarak dari wafatnya Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam  dengan wafatnya Abu Hurairah sekitar 47 tahun,oleh  karena itu beliau sangat sering mengajarkan ummat dan banyak meriwayatkan hadist.

KEDUDUKAN HADITS

  1. Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini termasuk dari pokok agama islam yang penting dan termasuk Jawamiul Kalim yang Allah anugrahkan kepada Nabi, serta termasuk hadits yang membahas hukum-hukum islam. (Syarah Muslim, 9/86).
  2. Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini hadits yang agung termasuk pokok agama islam dan rukun-rukunnya, maka hendaknya untuk menghafal dan perhatian padanya. (Fathul al-Mubin, 19).

PENJELASAN HADITS

  1. مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُApa saja yang aku larang, maka jauhilah.

Imam Nawai mengatakan bahwa larangan disini menunjukkan kepada keharaman.

Ibnu Daqiq al-Ied mengatakan bahwa larangan di sini bersifat umum dalam segala kondisi, kecuali ketika dalam darurat seperti makan bangkai dibolehkan, namun jika kondisi darurat itu hilang maka kembali kepada hukum asal.

  1. وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Melaksanakan perintah disertai dengan kemampun. Makannya islam memberikan kemudahan bagi umat islam dalam beribadah. Misalnya jika ia tidak mampu shalat berdiri, maka boleh duduk. Jika tidak ada air, maka boleh tayammum. Tetapi kata semampunya tentunya setelah orang berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan, jika tidak mampu maka islam memberikan keringanan.
  2. فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyak bertanya. Orang-orang sebalum kalian yaitu Yahudi dan Nasrani.

Bertanya termasuk cara untuk mendapatkan ilmu, namun Nabi mengingatkan kita untuk tidak banyak bertanya hal-hal yang tidak penting, seperti peristiwa yang belum terjadi.

Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu ketika ditanya tentang sesuatu, maka beliau balik bertanya, apakah hal ini telah terjadi ? jika mereka menjawab tidak, beliau menyuruh untuk meninggalkannya sampai hal itu terjadi.

Contoh larangan banyak bertanya dalam al-Quran adalah pertanyaan bani israil tentang sapi yang Allah perintahkan untuk disembelih.

  1. وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ menyelisihi perintah nabi-nabi mereka. Menyelisihi para Nabi adalah jalan menuju kebinasahan. Sebaliknya mengikuti mereka adalah jalan keselamatan.

FAIDAH HADITS DI ATAS:

  1. Wajibnya menahan apa yang Nabi larangan.
  2. Larangan di sini mencangkup yang sedikit dan banyak, seperti riba sedikit dan banyaknya sama terlarang.
  3. Menahan dari melakukan larangan lebih ringan daripada melaksanakan perintah.
  4. Kaedah dari ulama ushul, jika ada suatu perintah tidaklah menunjukkan
  5. Secara hukum asal, kita tidak diberi beban kewajiban. Artinya, tidak ada hukum sampai datang dalil. Pendukung dari hukum asal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’: 15)

  1. Ada kaedah ushul fikih dari hadits ini yang dipakai oleh para ulama “tidak ada kewajiban ketika tidak mampu”.

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam bait syair kaedah fikih yang beliau susun,

وَ لَيْسَ وَاجِبٌ بِلاَ اقْتِدَارٍ

“Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu.”

Artinya, kewajiban bisa gugur jika tidak punya kemampuan saat sebelum dan ketika kewajiban tersebut berlangsung. Sedangkan yang dimaksud kewajiban adalah yang dituntut oleh syari’at dengan perintah yang wajib. Perkara sunnah tidak termasuk dalam hal ini.

Beberapa dalil yang mendukung hal ini, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)

Ayat di atas sebagai tafsiran dari ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 102). Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah. Beliau menyatakan bahwa perintah bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa ditafsirkan dengan ayat “Bertakwalah pada Allah semampu kalian”. Artinya kita diperintahkan mengerjakan suatu perintah dan menjauhi suatu larangan, Allah tidaklah memerintahkan kecuali sesuai kemampuan kita. Lihat Syarh Shahih Muslim, 9:91.

Begitu juga ayat yang mendukung kaedah di atas,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)

  1. Mengerjakan suatu perintah itu sesuai kemampuan.
  2. Manusia itu memiliki kemampuan. Berbeda hal ini dengan keyakinan Jabariyyah yang menyatakan manusia itu dipaksa oleh takdir untuk berbuat dan tidak punya pilihan.
  3. Jika seseorang tidak mampu melakukan kewajiban secara utuh, maka diperintahkan untuk melakukan semampunya.
  4. Setiap mendengar perintah Rasul hendaklah langsung melaksanakannya tanpa menanyakan terlebih dahulu, apakah yang diperintahkan itu dihukumi wajib atau sunnah.
  5. Segala yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang beliau larang, maka tetaplah jadi syariat baik hal tersebut terdapat dalam Al-Qur’an ataukah tidak. Dan bisa jadi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi hukum tambahan dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an.
  6. Banyak bertanya adalah sebab kebinasaan. Contohnya adalah banyak bertanya dalam perkara yang tidak mungkin kemampuan berpikir kita sampai ke situ seperti permasalahan ghaib tentang nama dan sifat Allah atau tentang keadaan hari kiamat.

Di antara makna banyak bertanya pula adalah bertanya suatu masalah yang belum terjadi. Dulu para ulama tidak menyukai hal ini dan mereka menganggap hal itu termasuk menyusah-nyusahkan diri. (Dinukil dari Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 21:132)

Sebagian salaf berkata,

دَعْنَا عَنْ هَذَا حَتَّى يَقَعَ وَسَلْ عَمَّا وَقَعَ

“Tak usah bertanya pada kami sampai hal itu terjadi. Bertanya lagi nantinya kalau sudah terjadi.” (Ma’alim fi Thariq Thalab Al-‘Ilmi, hlm. 63)

Umar bin Khattab pernah keluar di tengah-tengah manusia kemudian berkata,

أُحَرِّجُ عَلَيْكُمْ أَنْ تَسْأَلُوْنَا عَنْ مَا لَمْ يَكُنْ ، فَإِنَّ لَنَا فِيْمَا كَانَ شُغْلاً

“Aku melarang kalian dari bertanya pada sesuatu yang belum terjadi karena sebenarnya kita punya kesibukan yang begitu banyak.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:245)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

لاَ تَسْأَلُوْا عَمَّا لَمْ يَكُنْ ، فَإِنِّي سَمِعْتُ عُمَرَ لَعَنَ السَّائِلَ عَمَّا لَمْ يَكُنْ

“Janganlah bertanya tentang apa yang belum terjadi. Sungguh dahulu aku pernah mendengar Umar melaknat yang bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:245)

Zaid bin Tsabit pernah ditanya tentang suatu masalah, ia balik bertanya, “Apa yang ditanyakan itu sudah pernah terjadi?” Jawab yang bertanya, “Tidak.” Zaid menjawab,

دَعُوْهُ حَتَّى يَكُوْن

“Tinggalkan bertanya seperti itu sampai hal itu terjadi.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:245)

  1. Umat sebelum kita binasa karena banyak bertanya dan karena menyelisihi nabi mereka.
  2. Setiap muslim wajib mencocoki nabinya. Ajaran yang wajib diikuti hanyalah ajaran beliau, itulah dinul Islam sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”(QS. Ali Imran: 19).

Wallahu a’lam. Moga Allah beri taufik dan hidayah.

Disadur dari tulisan Ust. M. Abduh Tuasikal Hafidhohullah 

Referensi:

  1. rumaysho.com
  2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi. Penerbit Dar Ibni Hazm.
  3. Fath Al-Qadir.Cetakan ketiga, tahun 1426 H. Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy-Syaukani. Penerbit Darul Wafa’.
  4. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  5. Ma’alim fi Thariq Thalib Al-‘Ilmi. Cetakan kelima, tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah As-Sadhan. Penerbit Dar Al-Qabs.
  6. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah Al-Mukhtashar. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
  7. Syarh Al-Manzhumah As-Sa’diyah fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan kedua, 1426 H. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kanuz Isybiliya.

Leave a Comment