Oleh Ust. ABu Rufaydah
- Bunyi dua Kalimah Syahadat.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
2. Makna Syahadat Secara Bahasa.
Asy-Syahadah secara etimologi adalah bentuk masdhdar (kata dasar) dari شَهِدَ – يَشْهَدُ.
Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, “Huruf Syin, Haa, dan daal menunjukkan makna kehadiran, ilmu, dan pemberitahuan. (Mu’jam Maqaayiis al-Lughah, hal. 517-518).
Tiga makna yang disebutkan oleh Ibnu Faris rahimahullah di atas terkumpul dalam kalimat Asy-Syahadah. Maka, ia bermakna pemberitahuan dan pemberitahuan tentang sesuatu yang sudah diketahui dan disaksikan oleh panca indra – yang disebutkan dengan kehadiran- atau yang diyakini oleh jiwa.
Ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Asy-Syahaadah adalah perkataan yang timbul dari pengetahuan yang dihasilkan oleh kesaksian mata dan pandangan.” (al-Mufradaat, hal. 268).
Adapun menurut Syaikhul Islam bahwa Asy-Syahaadah harus didasari pengetahuan saksi, kejujuran, dan keterangannya. Dan Asy-Syahaadah (persaksian) tidak dihasilkan melainkan oleh tiga perkara ini.
3. Makna Syahadat secara Istilah
Asy-Syahaadah adalah persaksian atau pemberitahuan tentang apa yang diketahui dan diyakini. Sesuai yang dikatakan oleh Abul Abbas al-Qurthubi rahimahullah di dalam kalimat yang ringkas, dimana beliau menjelaskan mengenai makna perkataan seorang muslim, ‘Aku bersaksi” artinya aku mengucapkan dengan apa yang aku ketahui dan yakini. (al-Mufhim, 1/87).
Adapun menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan makna Asyhadu, belia berkata, “Maknanya, ‘Aku mengucapkan dengan lisanku dan mengungkapkan apa yang tersimpan di hatiku dari keyakinanku, bahwasanya tiada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah’. (Al-Qaulul Mufiid, I/152).
4. Konsekuensi dua Kalimah Syahadat.
- Konsekuensi “Laa ilaha illallah”
Yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala macam yang dipertuhankan sebagai keharusan dari peniadaan laa ilaaha illallah. Dan beribadah kepada Allah semata tanpa syirik sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan illallah.
Banyak orang yang mengikrarkan tetapi melanggar konsekuensinya. Sehingga mereka menetapkan ketuhanan yang sudah dinafikan, baik berupa para makhluk, kuburan, pepohonan, bebatuan serta para thaghut lainnya.
Mereka berkeyakinan bahwa tauhid adalah bid’ah. Mereka menolak para da’i yang mengajak kepada tauhid dan mencela orang yang beribadah hanya kepada Allah semata. (At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali).
- Konsekuensi Syahadat “Muhammad Rasulullah”
Yaitu mentaatinya, membenarkannya, meninggalkan apa yang dilarangnya, mencukupkan diri dengan mengamalkan sunnahnya, dan meninggalkan yang lain dari hal-hal bid’ah dan muhdatsat (baru), serta mendahulukan sabdanya di atas segala pendapat orang. (At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali)
5. MA’RIFATULLAH
Ma’rifatullah secara bahasa maknanya mengenal sesuatu dengan pengenalan yang sesungguhnya.
Adapun secara istilah adalah mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha sempurna dan perbuatan-perbuatan-Nya yang maha terpuji, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa at-tahrîf (menyelewengkan maknanya yang benar), at-ta’thîl (menolak/ mengingkarinya), at-takyîf (membagaimanakannya) dan at-tamtsîl (menyerupakannya dengan makhluk). (Majmû’ul Fatâwâ (5/26) dan Taisîrul Wushûl, hlm. 11).
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh Azza wa Jalla )” [Fâthir/35:28].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allâh Azza wa Jalla, maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungan hamba tersebut kepada-Nya…, yang kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan, pemuliaaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah-Nya.” (Raudhatul Muhibbîn, hlm. 406)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Semakin banyak pengetahuan seseorang tentang Allâh, maka rasa takutnya kepada Allâh pun semakin besar, yang kemudian rasa takut ini menjadikan dirinya (selalu) menjauh dari perbuatan-perbuatan maksiat dan (senantiasa) mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Dzat yang ditakutinya (yaitu Allâh Azza wa Jalla). (Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 502).
Related Post
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.