BAHAGIA ITU JIKA…
oleh Abu Rufaydah
Sahabat yang dirahmati Allah…
Apa yang terfikir dalam benak sahabat jika disebutkan kata bahagia ? beragam jawaban memaknai hakikat bahagia. Masing-masing berusaha mendefinisikan kebahagiaan. Wajar karena bahagia dambaan dan keinginan setiap manusia, bukan hanya orang muslim, orang non islam pun menginginkan kebahagian. Bukan milik mereka yang melakukan ketaatan tapi mereka yang berlumur dosa pun ingin bahagian.
Kebahagiaan bagi mereka ketika omet selalu bertambah, sehingga pundi-pundi kekayaan semakin bertumpuk. Tiada waktu yang berlalu kecuali semua bernilai uang. Maka kita akan dapati orang seperti ini menghabiskan usianya untuk harta, karena mereka yakin kebahagiaan ada pada harta.
Kebahagiaan bagi mereka ada pada jabatan, seiring jabatan meningkat maka kebahagiaan akan didapat. Kebahagiaan bagi mereka ketika menjadi orang popular, kemana-mana dikenal dan dipuji bak para artis yang tak pernah habis mengiasi lembaran media. Bagi mereka kebahagian ada pada pasangan yang ia nikahi karena mendapatkan pujaan hati.
Anda pun bisa mendefinisikan dan memaknai kebahagiaan sesuai yang anda inginkan, namun kebahagiaan yang disebutkan di atas adalah kebahagiaan semu, kebahagiaan yang menempel pada bagian luar, bukan pada bagian hati. Akibatnya jika kebahagiaan itu ada pada bagian luar, maka ketika hilang, hilang pula kebahagiaan. Namun jika kebahagiaan itu ada pada hati, kemanapun anda bawa kebahagiaan selalu menyertai anda.
Ya…. Allah jadikan kebahagiaan itu pada hati, karena setiap manusia memiliki hati, tak perlu anda pergi ketempat rekreasi atau pulau dan benua tertentu untuk bahagia, cukup dengan hati yang mengenal pencipta-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya, maka saat itu anda telah bahagiaan. Ketika ada harta, jabatan, populeritas, dan yang lainnya aa atau tiada maka hal itu tidak berpengaruh besar. Karena dia tahu bahwa kebagaiaan ada pada hati yang mengenal Allah.
Sahabat yang dirahmati Allah…
Dalam Muqoddaimah Qawaidul Arba’ penulis menyebutkan tiga ciri manusia bahagia, yaitu jika tertimpa musibah ia bersabat, jika diberinikmat ia bersyukur dan jika berdosa ia sebera bertaubat. Baca berulang kali kalimat ini sahabat, agar kita sadar bahwa kebahagiaan bagi setiap muslim ada pada tiga kondisi, mana kala ia mampu menjalankannya maka kebahagiaan itu miliknya.
Pertama Sabar.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah membagi sabra menjadi tiga bagian;
- Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
- Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
- Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sahabat…. Sabar bukan hanya pada saat kita tertimpa musibah, namun kita harus sabar saat kita dalam menjalankan ketaatan. Seorang penuntut ilmu harus sabar saat ia belajar, sabar ketika mengamalkan dan sabar ketika mendakwahkan. Ketika kita sudah hilang kesabaran dalam melakukan kebaikkan, maka ingatlah janji Allah bagi mereka yang sabar.
Allah berfirman;
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Dan, Allah mencintai orang-orang yang sabar”. [Ali Imran : 146]
Siapa yang tidak ingin dicintai oleh kekasihnya, ibu dan ayahnya, teman dan kerabatnya. Jika dicintai mereka kita merasa bahagia bagimana pula yang mecintai kita adalah yang menciptakan kita, memberi rizki dan kehidupan.
Sabar saat menjauhi maksiat, ia butuh kesabaran kawan. Sebagaimana Nabi Yusuf alaihis salam mempu keluar dari kemaksiatan karena kesabaran yang Allah berikan. Tidak gampang lari dari ke maksiatan, apalagi yang sudah terbiasa melakukkannya. Maka saat maksiat memanggil, bersabarlah dengan memohon pertolongan kepada Allah.
Sabar saat takdir tidak berpihak kepada kita, tapi yakinlah Allah tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya. Semua taqdir berada di atas ilmu dan keadilannya. Terkadang ketika doa dan ibadah tidak tembus untuk menggugurkan dosa-dosa kita, maka Allah berikita musibah yang dengannya gurur dosa-dosanya.
Kedua Syukur.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244).
Apa yang kita miliki semuanya titipan Allah, harta, anak-anak, jabatan dan hidup kita adalah pemberian Allah. Tidak perlu congkak saat di atas dan tidak perlu stress saat ditimpa musibah. Semua ada hikmah dan pelajarannya.
Qarun yang berkata,
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (QS. Al-Qashash: 78).
Lihatlah Qarun saat ditanya tentang nikmat yang ia dapatkan, ia menjawab semua yang ia miliki hasil dari ilmunya. Maka ketika mendapatkan kenikmatan lakukan hal berikut ini;
- Akui dengan hati bahwa semua pemberian Allah.
- Memuji dengan lisan dalam setiap keadaan.
- Realisaikan nikmat dengan ibadah kepada Allah
Ketiga Istighfar
Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah ” Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah.
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun” [Nuh/71 : 10]
Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta”. (Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, dari asal kata “ghafara” hal. 362).
Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan : “Para ulama berkata, ‘Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah
Jika taubatnya itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan Keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta ma’af kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf”. (Riyadhus Shalihin, hal. 41-42)
Sahabat tidak ada kata telat untuk taubat dan memohon ampunan kepada Allah, selama hayat digandung badan, matahari masih terbit di arah timur, maka pintu ampunan Allah masih terbuka. Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Permasalahannya bukan pada dosa, karena setiap manusia pasti melakukan dosa dan maksiat, numun maukah dia seger taubat dan istighfar kepada Allah.
Jika seorang muslim merealisasikan ketiga amalan tadi, maka merekalah yang telah mendapatkan kebahagiaan.
Dari hamba Allah yang ingin bahagia
About the author
Endang Hermawan
Abu Rufaydah Endang Hermawan, Lc. MA. Beliau Lahir di Cianjur tahun 1989 Pendidikan Formal 1. SDN Citamiyang 2. SMP T dan SMA T di PONPES Al-Ma’shum Mardiyah 3. S1 Pendidikan Agama Islam di STAINDO 4. S1 Syari’ah di LIPIA JAKARTA 5. S2 Tafsir al-Qur’an PTIQ Jakarta Saat ini membina Yayasan Ibnu Unib untuk pembangunan Masjid dan Sumur dan Ketua Yayasan Cahaya Kalimah Thoyyibah bergerak di Pendidikan, Sosial dan Dakwah
Related Post
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.